Sang ibu terus mengelus-elus perutnya yang membesar,
mengirimkan pesan cinta pada sang buah hati. Banyak kesakitan tak terungkap
yang dirasanya. Kaki susah dibawa berdiri, apalagi berjalan. Mudah letih, sakit
kepala, dan sangat perasa. Tidur berbaring serba sulit. Pekerjaan rumah tak
berkurang dari semula.
Sang buah hati menendang-nendang, dan sang ibu tersenyum.
Dengan rasa sakit tak terungkap kata, dengan taruhan
nyawanya, lahirlah sang buah hati ke dunia. Ibu tersenyum. Didekapnya sang
anak, diciumi. Hilang semua rasa sakit dan keletihan yang luar biasa dalam
sekejap.
Terima kasih ya Allah, telah Kau karuniakan aku anak yang
mungil dan manis. Kembali ia peluk anaknya dengan penuh cinta.
Perawat mencoba mengambil sang anak. Sang anak menangis
keras. Sang ibu cepat-cepat mengambil dan mendekapnya, ia pun diam. Sang anak
akan terus diam dan damai dalam dekapan sang ibu dalam tahun-tahun awal
kehidupannya. Ia merasakan kenyamanan dan kesejukan tak berhingga di sana. Ibu
seperti sebuah pohon yang rindang teduh dikelilingi mata air yang sejuk dan
jernih. Segala kemarau dunia ini takluk dalam dekapan sang bunda.
Darah yang selama ini mengalir dalam tubuhnya ia alirkan
pada sang buah hati. Ia tertawa gembira ketika sang anak mengencingi tubuhnya.
Ia tersenyum ketika sang anak buang air besar seenak hatinya. Ia bersihkan, dan
ia pakaikan pakaian terbaik kepada anaknya.
Siang sang anak tidur dan malamnya ia bangun,menangis
meraung sekuat tenaga. Malam dan seluruh makhluk penjaganya jadi saksi raungan
sang anak. Sang ibu, siang bekerja mengurus keluarganya, malam ia habiskan
mengurus sang buah hati tercinta. Keletihan seperti apa yang tak terasa. Tapi,
ia begitu cinta pada anaknya.
Heningnya malam bergetar oleh senandung sang ibu
meninabobokkan anaknya,
Tidurlah anak si buah hati
Obat letih pelerai demam
Cepatlah besar
Jadi orang berguna bagi agama, sesama
Tiba-tiba sang anak sakit.
Sang ibu panik dan sangat sedih. Air mata senantiasa menggenang di
pelupuk matanya. Tak bisakah sakit
anaknya itu ia yang menggantikannya. Sang anak rewel luar biasa. Tak
henti-henti menangis. Sang ibu tak lepas-lepas menggendongnya. Terbengkalai
kebanyakan dari pekerjaannya. Siang malam ia terus tunggui sang anak tercinta,
tak mau jauh dari sisinya. Terus ia berdoa pada Allah agar sang anak
disembuhkan dan diberi panjang umur. Jangan kau ambil buah hatiku, ya Allah….
Bisik hatinya dengan gemetar dan pilu.
********
Sang anak tumbuh
besar jadi remaja, gagah, cantik.
*
“Ibu, aku mau sepatu yang bagus seperti punya temanku.”
“Ibu tidak sanggup membelikannya, Nak. Pakai sajalah
sepatumu, itukan masih bagus dan belum lama dibeli.”
“Ibu bohong. Pokoknya aku mau yang itu,” kata sang anak
sambil membalikkan tubuh dan wajahnya dengan ketus dan kasar. Ia tinggalkan
sang ibu dengan menghentakkan kakinya ke bumi, wajahnya kesal dan marah.
Sang ibu diam terpaku.
Mulut yang dahulu ia beri minum dari air susunya. Mulut yang
dahulu ia suapi dengan lembut. Mulut
yang dahulu tangisannya membuat ia resah dan cepat datang memeluknya. Mulut itu
sekarang menuduhnya pembohong.
Wajah yang dahulu ia selalu cium. Wajah yang selalu ia hapus
air matanya. Wajah yang dahulu ia usahakan selalu tersenyum. Wajah itu hari
ini penuh kekesalan dan kebencian
padanya.
Sesungguhnya Allah Mahatahu bahwa semenjak sang anak mulai
besar, remaja, hati sang ibu telah hancur, harapannya seakan musnah. Ia seakan
tak percaya, bagaimana sang buah hati yang manis dan lucu, yang menggemaskan,
ia sayang sepenuh hati, kini…
Tiada hari tanpa hatinya terluka oleh mulut yang tajam.
Hatinya teriris oleh pandangan yang sinis dan menyalahkan.
Dan kata-katanya seperti angin lalu, tak diacuhkan.
Ya Allah, bukankah telah kuberikan segala cinta kepada
anakku.
Bukankah aku telah rela menyerahkan hidupku asal anakku
panjang usia.
Biar kutanggungkan seluruh kepahitan dunia ini untuk seulas
senyum di bibirnya.
Bukankah aku telah membanting tulang, tak kenal lelah
mencarikan kebutuhan dirinya.
Apalagi yang harus aku lakukan.
Mengapa ini balasannya…
Kemarahan, kekesalan, caci maki. Ia begitu sinis dan merendahkanku.
“Perempuan tua,” begitu katanya.
Sang anak tak peduli. Ia terus durhaka. Ia penuhi hidupnya dengan hura-hura, maksiat. Ia coreng
malu di kening orang tuanya. Tak satupun
nasihat sang ibu yang ia dengarkan. Ia bantah sang ibu dengan segala kehebatan
yang ia dapat dengan kepintarannya, katanya. Ia rendahkan ibunya sebagai seorang
tua bodoh yang tak tahu perkembangan zaman.
Katika sang ibu sakit, tak ia peduli sedikit pun. Jangankan ia tunggui, menengoknya saja ia
enggan. Alangkah luar biasa kemarahan dan kebenciannya ketika sang ibu tak
memberi apa yang ia minta. Mau rasanya
ia menghancurkan rumah yang dahulu ia
dibesarkan di sana. Ia lalu pergi tak pulang-pulang menghilangkan sakit hati,
meninggalkan sang ibu dalam kecemasan.
**
Sang ibu telah ringkih, renta. Mata telah kabur, badan telah
lemah dan sakit-sakitan. Sang anak telah
dewasa dan punya banyak uang.
Dan alangkah angkuhnya sang anak. Ia memandang rendah pada
ibu yang menompang hidup kepadanya.
Alangkah senang hatinya bila sang ibu cepat mati dan tak lagi
membebaninya. Tak pernah sekalipun lagi ia mencium tangan ibunya. Bahkan tak
hendak hatinya untuk menyapa perempuan tua yang dahulu ia selalu tertidur damai
dalam pelukannya.
Alangkah durhaka dirimu sang anak. Alangkah celaka
dirimu. Neraka adalah tempat tinggalmu,
Perempuan tua itulah yang dahulu mengganti tiap tangisanmu
dengan senyum kegembiraan.
Perempuan tua itulah yang dahulu selalu setia menemanimu
kapan saja dalam kesedihan, mendekapmu dengan cinta seluas samudra, cinta
setinggi himalaya.
Perempuan tua itulah yang menangis untuk tiap derita yang
menyapamu
Perempuan itulah yang dahulu hingga hari ini membasahi
mulutnya dengan doa-doa untuk kebahagiaanmu.
Perempuan tua itulah
yang telah mengambil pilihan ketika ia diberi pilihan apakah ia yang
hidup atau anaknya, maka ia memilih memberikan hidupnya.
Andai Allah memang mengambil hidupnya ketika itu, ketika si
buah hati yang mungil itu mencintainya dan ia pun sangat cinta kepadanya.
Ketika mereka saling mencintai. Alangkah ia berbahagia.
Sang ibu terus menjalani hidupnya dalam siksaan tak berujung
dari si anak, anak yang tahu membalas budi. Air susu dibalas air tuba.
Akhirnya ia bisa berbahagia.
Ketika, kematian datang dan menjemputnya, ketika kematian datang memisahkan ia
dari sang anak, anak durhaka.
Anak-anak yang durhaka:
·
Tiada hari tanpa ia menyakiti hati orang tuanya.
·
Ia permalukan orang tuanya dengan ulahnya.
·
Kata-kata tajam mengiris hati
·
Wajah ketus penuh kekesalan
·
Terus-terus meminta apa yang ia inginkan, tanpa
peduli dengan kemampuan orang tuanya
·
Menjawab apa saja kata orang tuanya
·
Tak satu pun nasihat orang tua yang ia pedulikan
·
Ia terus berbuat dosa dan maksiat, sehingga
hancur nama baik orang tuanya. Sehingga, bukan hanya manusia yang murka kepada
orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya, Allah Yang
Mahapencipta pun murka kepada orang tuanya. Di hari kiamat sang orang tua ikut
dibelenggu bersama sang anak yang penuh dosa.