Memandang
dari Kacamata Pelacur
Sebuah
Ulasan atas Buku ”Cantik itu Luka” Karya Eka Kurniawan
I. Pendahuluan
Memandang
yang dimaksudkan dalam judul di atas adalah memandang hidup. Penulis akan
mengulas salah satu kesan dominan yang penulis rasakan dalam Cantik
itu Luka (CIL) yaitu Eka Kurniawan (EK) berusaha mewujudkan
bagaimana sosok dunia/kehidupan ini dari kacamata seorang pelacur. Tentu ia
takkan pernah pergi jauh dari pengalamannya sebagai seorang pelacur.
II. Memandang Hidup
Yang
Maha Pencipta, Allah swt., menciptakan kehidupan ini dengan ilmu-Nya dengan
hikmah dan tujuan yang benar.
”Dia menciptakan
langit dan bumi dengan hak….”
(Q.s.
An-Nahl: 3)
Sekecil apa pun
peristiwa di alam semesta ini maka ada hikmah yang dalam yang terdapat padanya.
Untuk
manusia Allah telah tentukan bahwa:
·
Manusia diciptakan
untuk beribadah kepada Allah (q.s. Az-Zariyaat: 56).
·
Manusia jadi khalifah
di muka bumi (q.s. Al-Baqarah: 30).
Untuk mengemban
tugasnya itu kepada manusia telah diberikan-Nya, a.l.:
·
Kemuliaan
”Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….”
(Q.s.
Al-Isra’: 70)
·
Bentuk yang paling bagus
”Sungguh
telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(Q.s.
At-Tiin: 4)
·
Semua potensi langit
dan bumi adalah untuk manusia
”Dia-lah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu….”
(Q.s. Al-Baqarah: 29)
”Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
(Q.s.
Luqman: 20)
Demikianlah
pandangan yang benar mengenai kehidupan. Untuk mencapai dan memahami pandangan
yang benar ini manusia harus melalui proses. Ia tidak bisa serta-merta langsung
memahami. Ia harus giat mengumpulkan pengetahuan yang berasal dari
pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain. Pengetahuan yang
terus-menerus ia dapat ini harus ia hubung-hubungkan. Usaha ini selangkah demni
selangkah akan mengantarkannya pada pemahaman akan tujuan hidup yang telah
ditentukan Yang Maha Pencipta.
Tidak
ada yang salah dari berbagai pemandangan yang tampak saat Eka Kurniawan (EK)
menggunakan pelacur sebagai media pandangan kehidupan dalam Cantik itu Luka (CIL). Pelacur dan kita
semua yang harus arif untuk menjadikannya salah satu pengetahuan untuk memahami
hakikat hidup ini dengan benar.
III. Memandang Hidup dari Kacamata Pelacur
Sosok
Dewi Ayu mendominasi cerita. Ia tokoh utama. Pusaran peristiwa berkisar
mengelilinginya. Ia selalu muncul dan memberikan pengaruh kepada
manusia-manusia yang ada dalam cerita.
Sebagai
tokoh utama tentu ia punya (banyak) kelebihan. Kelebihan yang paling menonjol
adalah kecantikan wajah dan keindahan fisik di samping kelebihan lain: kaya,
berpendidikan, dll. Status yang kemudian dibebankan penulis kepada Dewi Ayu
adalah pelacur. Ia menjadi pelacur elite dari awal hingga akhir hayatnya. Tak
sembarang orang yang meniduri Dewi Ayu. Hanya orang-orang yang punya kelebihan
pula (kelebihan uang, keberanian, dll.) yang bisa melakukannya.
Banyak
hal-hal menarik yang bisa digali hikmahnya dari perjalanan hidup Dewi Ayu. Penulis memfokuskan
diri kepada pertanyaan: Bagaimanakah Dewi Ayu melihat kehidupan ini?
Sebagai
seorang pelacur yang matang, ia punya pengalaman-pengalaman sendiri.
Pengalaman-pengalaman inilah yang membentuk cara Dewi Ayu memandang hidup ini.
Penulis tidak menyalahkan atau membenarkan cara pandang tersebut. Penulis
mengungkap cara pandang ini kepada diri penulis dan pembaca untuk diambil
hikmahnya. Dengan memahami cara seorang pelacur—yang diwakili Dewi
Ayu—memandang hidup bisa memperkaya khasanah jiwa kita. Siapa yang berani
berkata bahwa ia bisa memastikan sanggup
mempunyai cara pandang lain andai ia di
posisi Dewi Ayu? Tidak ada, kecuali orang-orang yang picik yang memandang
dirinya hebat.
*
Inilah
di antara pandangan yang dimiliki Dewi Ayu.
1. Dewi
Ayu tak pernah memandang hebat kemaluannya
Dengan kecantikan
perpaduan Timur dan Barat yang dimilikinya, laki-laki memandang penuh imajinasi
kepada Dewi Ayu. Mereka ingat akan bidadari, ingat akan puteri-puteri
bangsawan, dan lambang-lambang kecantikan lainnya yang semuanya hebat dan
cenderung luar biasa. Penggambaran yang diberikan Eka Kurniawan (EK) pun akan
menggiring kita pada anggapan dan bayangan kecantikan yang menggiurkan pada
diri Dewi Ayu.
Lelaki dilanda
mimpi-mimpi hebat, mengguncangkan, sehebat angan-angan yang mengganggu tidur
mereka. Khayalan akan keindahan seorang perempuan dan hasrat untuk
menikmatinya. Kenikmatan itu berujung pada persetubuhan. Kecantikan menimbulkan
hasarat yang besar bagi laki-laki untuk menyetubuhi seorang perempuan.
Khayalan akan keindahan
perempuan menemukan muaranya di kemaluan perempuan itu sendiri.
Jadi, kecantikan telah
memperindah hal-hal lain pada diri perempuan itu, terutama berkenaan dengan
fisik. Ia tampak hebat. Yang mampu meraih sang perempuan cantik dipandang hebat
dan memiliki kelebihan tertentu. Laki-laki hebat yang mampu memiliki sang
perempuan cantik itulah nanti yang berhak menikmati sang perempuan sampai
puncak kenikmatan: klimaks saat persetubuhan.
Dalam CIL Dewi Ayu
menjungkirbalikkan semua anggapan itu. Ternyata, si cantik Dewi Ayu tidak memandang
hebat sumber kenikmatan yang ia miliki yang diperebutkan para lelaki.
Hal ini dapat kita
simpulkan dari bagian cerita ketika Dewi Ayu membantu temannya yang bernama
Ola. Ibu Ola sakit dan harus mendapat bantuan dokter. Dewi Ayu dengan keinginan
sendiri memenuhi persyaratan yang diminta Komandan Jepang: bersetubuh. Obat dan
dokter akhirnya diperoleh. Ola terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Dewi
Ayu. Apa jawaban Dewi Ayu?
’’Tak
apa,’’ kata Dewi Ayu pada si gadis,’’ anggap saja aku buang tai lewat lubang depan.”
(halaman 77)
Dewi
Ayu sangat menganggap remeh apa yang telah ia lakukan dan korbankan. Padahal,
itulah adalah pertama kali kemaluannya dimasuki kemaluan laki-laki.
…sebab bagaimanapun ini
kali pertama seorang lelaki
menyetubuhinya….
(halaman
77)
Dewi
Ayu tidak memandang hebat sumber kenikmatan yang ada pada dirinya sebagaimana
para lelaki memandang hebat hal tersebut. Para lelaki demikian mengimpikannya,
sedangkan Dewi Ayu memandangnya sebagai sesuatu yang tidak berarti atau lebih
rendah lagi.
Para
lelaki menjadi korban penipuan persepsi mereka sendiri. Mereka memandang hal
itu begitu luar biasa, sedangkan sang pemilik hal tersebut memandangnya tak
berarti.
2. Buah
jatuh tak jauh dari pohonnya
Semua orang menaruh
harapan kepada generasi yang akan datang. Orang berharap bahwa anak-anak mereka
adalah manusia-manusia yang jauh lebih baik daripada diri mereka dalam semua
hal. Orang berani mempertaruhkan dan mengorbankan banyak hal untuk mencapai cita-cita
ini. Semua pengorbanan harta, tenaga, perasaan, sebesar apa pun terlihat kecil
ketika harapan itu menampakkan diri padanya.
Di balik
harapan-harapan kepada anak-anak mereka, para orang tua juga tahu bahwa
anak-anak mereka akan jadi seorang manusia yang tak jauh dari diri mereka,
orang tuanya. Kepada orang-orang yang baik, anak-anak mereka adalah di antara
karunia Allah yang menambah kebahagiaan mereka. Banyak hal baru dan mengejutkan
pada diri anak-anak mereka yang akan menambah semangat mereka menjalani kehidupan
ini dengan lebih baik lagi.
Kepada orang tidak baik,
mereka menjalani hal yang sama dalam bentuk kebalikannya. Kebalikan dari apa
yang dialami oleh orang-orang baik. Anak-anak mereka adalah di antara bentuk
azab yang pedih sebagai balasan dari amal perbuatan yang telah mereka lakukan.
Andai mereka mau berpikir, tentu mereka akan menyadari dan memperbaiki diri.
Bagaimanakah Dewi Ayu memandang
tentang anak keturunannya? Dan bagaimana
kenyataannya?
Eka Kurniawan
mengungkap pernyataan Dewi Ayu tentang hal itu (pertanyaan pertama), dan
menceritakan secara sangat panjang lebar tentang kenyataannya (pertanyaan
kedua).
Dalam suatu dialog
dengan Rosinah si gadis bisu, pelayannya, Dewi Ayu mengungkap tentang
anak-anaknya.
…
Rosinah kembali menulis.
”Kau bilang punya tiga anak?” tanyanya
”Benar,” kata Dewi Ayu. ”Mereka pergi
begitu tahu bagaimana membuka kancing celana lelaki.”
(halaman
17)
Perangai
anak-anaknya sedikit banyaknya telah meniru perangai dari ibunya. Dewi Ayu
menyadari hal ini sebagaimana semua orang tua lain juga memahami hal ini
jauh-jauh hari atau baru saja.
Kenyataannya?
Kenyataannya adalah bahwa anak pertamanya, Alamanda, kawin dengan orang yang memerkosa dirinya dan
ibunya; anak keduanya, Maya Dewi, menikah dengang Maman Gendeng—gembong preman
yang secara spesial mengontrak ibunya untuk dirinya sendiri; Adinda, anak
ketiga, menikah dengan Kamerad Kliwon—laki-laki cerdas, komunis bejat yang hobi
menzinai banyak perempuan; anak bungsunya, Si Cantik, berzina dengan
keponakannya sendiri.
Inilah
pernyataan anak-anak Dewi Ayu tentang keluarga mereka.
”Kita seperti keluarga yang dikutuk,”
kata Adinda di tengah isak tangisnya.
”Tidak seperti,” kata Adinda, ”tapi
sungguh-sungguh dikutuk.”
(halaman
526)
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Terus menurun ke
generasi berikutnya sebagai sebuah kutukan.
3. Dewi
Ayu membenci kecantikan
Wanita berlomba-lomba
untuk menjadi cantik, menarik, dengan tujuannya masing-masing. Wanita
menggunakan banyak cara dan mengeluarkan dana yang besar. Merawat dan
mempertahankan kecantikan membutuhkan dana yang besar, apalagi mempercantik
sesuatu yang biasa-biasa saja. Banyak usaha dan perusahaan yang didirikan untuk
menjaga kecantikan wanita. Ada juga cara lain untuk mencapai kecantikan bagi
orang-orang yang menyenangi jalan pintas dan tidak masuk akal, yiatu susuk,
dll. yang sejenis.
Dewi Ayu beda. Ia melawan arus. Mungkin pengalaman yang membentuk cara
pandangnya tersebut. Kalau wanita lain berlomba-lomba dan bangga dengan
kecantikan, maka Dewi Ayu membenci kecantikan. Cara pandang ini adalah di
antara cara pandang yang tampak ketika ia hendak memutuskan untuk mati, yakni
setelah ia melahirkan anaknya yang keempat.
”Semestinya
ia dibunuh saja,” kata seorang perempuan, yang pertama terbebas dari amnesia
mendadak itu.
”Aku sudah mencobanya,” kata Dewi Ayu
dengan kemunculannya. Ia hanya mengenakan daster kusut dan kain yang melilit
pinggang. Rambutnya tampak kacau sekali, serupa orang yang bebas dari
pertarungan dengan banteng.
Orang-orang memandangnya dengan iba.
”Ia cantik, kan?” tanya Dewi Ayu.
”Ehm, yah.”
”Tak ada kutukan yang lebih mengerikan
daripada mengeluarkan bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum
seperti anjing di musim kawin.”
(halaman
4—5)
Kecantikan
lebih sebagai kutukan bagi Dewi Ayu. Kebenaran pernyataannya ini tentu bisa
kita cocokkan dengan pengalaman hidupnya yang panjang. Pertama kali kecantikan
itu mencampakkannya ke dalam pelacuran
untuk tentara Jepang. Dan seterusnya kecantikan dan pelacuran tak bisa
dipisahkan lagi dari diri dan hidupnya. Kecantikan telah memberinya kehidupan
dan lembar-lembar penuh catatan dosa. Pelacuran telah memberinya anak-anak yang
cantik dan mewarisi wataknya sendiri yang ia benci.
Tampaknya
Dewi Ayu tak bisa menemukan alasan lain yang lebih kuat daripada kecantikan,
bahwa kecantikannyalah yang telah membawanya kepada kehidupan hina seorang
pelacur.
Dalam
kemiripan konsep dengan penjabaran yang sedikit berbeda, Krisan, cucu Dewi
Ayu, menyatakan hal yang sama di akhir
hayatnya.
”… cantik itu luka.”
(halaman
535)
*
Tentu saja masih banyak
cara pandang Dewi Ayu tentang kehidupan ini beserta contoh-contohnya. Penulis
menganggap ketiga cara pandang yang penulis angkat di atas adalah inti dan bisa
mewakili cara pandang lain yang masih
bisa diungkapkan yang menampakkan kepribadian Dewi Ayu sebenarnya.
Setiap orang boleh
mempunyai persepsi sendiri tentang cara pandang Dewi Ayu, atau tentang diri
Dewi Ayu keseluruhan. Penulis kembali mengulangi bahwa penulis mencoba
mengungkap cara pandang DewiAyu tentang beberapa sisi dalam kehidupan ini
dengan tujuan bisa menambah khasanah pengetahuan kita akan hakikat hidup ini.
Khasanah ini nantinya harus kita gunakan untuk selangkah lebih maju dalam
memahami hakikat tujuan hidup yang sebenarnya yang telah ditentukan Yang Maha
Pencipta.
Mereka yang memuja
wanita telah tertipu. Dewi Ayu telah mementahkan anggapannya yang berpijak pada
angan dan prasangka belaka. Dia memuja wanita, padahal wanita itu sendiri—dalam
hal ini Dewi Ayu—meremehkan hal itu. Apalagi yang mereka puja kalau bukan kenikmatan
yang bisa mereka dapatkan dari diri wanita. Kenikmatan itu berada/berpusat di
kemaluan wanita. Ternyata wanita (Dewi Ayu) memandang hal itu sebagai sesuatu
yang tiada berarti.
Orang yang tersesat di
dunia ini gara-gara wanita , ia telah tertipu. Bukankah kenikmatan itu berada
di suatu tempat yang penuh lendir berbau tidak sedap; bukankah kenikmatan itu
berada di tempat di mana air kencing keluar/lewat; bukankah kenikmatan itu
berada di mana manusia pertama kali keluar menempuh dunia. Ketika dan setelah
proses kelahiran itu, tempat kenikmatan itu adalah tempat yang tidak
menyenangkan untuk dipandang, berbau sangat tidak sedap. Juga, pada saat
tertentu di tiap bulannya tempat kenikmatan itu dialiri sesuatu yang kotor.
Kamu para lelaki memuja
para wanita dalam arti yang salah. Lihatlah hakikat, bukan zahir dan prasangka.
Hakikat bahwa wanita itu sendiri tidak memandang tinggi apa yang kaum lelaki
memuja dan mengangankannya.
Kita harus mencintai
kaum wanita dan menempatkannya dalam cara pandang yang benar. Kaum wanita dan
segala dimensi mereka (kecantikan dan kenikmatan yang bisa didapat dari wanita)
harus membantu lelaki untuk lebih dekat dan taat beribadah kepada Allah
Yang Maha Pencipta.
*
Apakah
dosa anak-anakmu hingga mereka harus ikut menanggungkan akibat dari dosa yang
dilakukan oleh dirimu (orang tuanya). Hendaklah ini direnungkan sedalam-dalamnya.
Sudah menjadi sunatullah bahwa anak-anak mewarisi watak, bakat, kebiasaan, dan
hal-hal lain dari orang tuanya. Alangkah beruntung anak-anak yang terlahir dari
orang tua yang memiliki banyak keunggulan. Tentu mereka akan menjadi
pribadi-pribadi yang unggul pula kelak.
Keunggulan
yang utama adalah keunggulan dalam hal keimanan dan akhlak. Alangkah beruntung
anak-anak yang mewarisi keimanan dan akhlak yang tinggi dari orang tuanya, baik
itu hasil warisan gen atau hasil didikan. Mereka menjadi orang yang mulia di
dunia dan pada kehidupan yang akan datang mereka lebih dimuliakan di surga yang
dijanjikan.
Sebaliknya,
alangkah celaka anak-anak yang terlahir dari orang tua yang jahat, bejat, penuh
berlumur dosa. Betapa celaka hidup mereka, mewarisi banyak keburukan yang
mereka tak pernah menginginkannya. Andai mereka bisa memilih tentu mereka tak
pernah mau dilahirkan dan dibesarkan
oleh orang tua seperti itu. Kebanyakan mereka mewarisi derita panjang yang
dimulai oleh orang tuanya. Semua ketentuan kembali pada Allah swt. Yang
Mahaadil dan Mahabijaksana.
Dewi
Ayu juga menyadari hal ini. Ia melihat sendiri perilaku anak-anaknya yang tidak
jauh dari perilakunya. Ia benci, tapi tidak mampu berbuat apa-apa. Jangankan
dalam kehidupan nyata, dalam novel yang penuh imajinasi pun penulis tidak bisa
melepaskan diri dari hubungan kausal yang merupakan sunatullah ini: air cucuran
atap jatuhnya ke pelimbahan juga atau buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Mari
kita catat, camkan, dan jadikan pelajaran. Anda ingin anak-anak keturunan Anda
adalah manusia-manusia yang mulia di dunia dan akhirat? Kalau ya, maka mulailah
dari diri Anda dengan menjadi seorang yang mulia dalam menjalani kehidupan ini.
IV. Penutup
Manusia
akan terus mencari apa tujuan hidupnya, untuk apa ia diciptakan. Allah telah
menjelaskan tujuan hidup manusia dalam kitab suci yang ia turunkan melalui
utusan-Nya. Untuk memahami tujuan yang disampaikan Allah ini, kita harus
berusaha mencari pengetahuan melalui membaca atau pengalaman. Dengan petunjuk
Allah, insyaallah pengetahuan dan pengalaman itu akan mengantarkan kita pada
pemahaman terhadap apa yang telah Allah swt. sampaikan.
Profesi
sebagai pelacur adalah cela. Namun pengalaman yang lahir dari profesi itu
adalah di antara hikmah-hikmah yang bertebaran di muka bumi yang harus kita
ambil dengan penuh semangat untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri kita.
Hikmah
yang bisa digali dari buku Cantik itu
Luka ini tidak berbeda dengan hikmah dari sumber lain. Tergantung pada
kita. Sehelai daun yang luruh ke bumi
menyimpan hikmah yang besar. Tidak ada yang sia-sia.
Wallaahua’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI. 2007. Al-Quran dan Terjemahnya.
Jakarta: CV Penerbit J-ART.
Hawwa,
Said. 2001. Al-Islam. Jakarta:
Al-I’tishom.
SURAT KETERANGAN
NOMOR 421/LOMBA/VII/2009
Yang
bertanda tangan di bawah ini Pjs. Kepala
SMA IT Mutiara Duri, menerangkan bahwa,
Nama : Eva Yulia, S.Pd.
Jabatan : Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia
Adalah
BENAR guru Bidang Studi Bahasa Indonesia
di SMA IT Mutiara Duri hingga saat ini.
Demikianlah surat keterangan ini dibuat
untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Duri,
10 Agustus 2009
Pjs.
Kepala SMA IT Mutiara,
Edi Purnomo, Lc.
PENULIS:
YUDI HENDRA, S.PD.
GURU
BAHASA INDONESIA SMA IT MUTIARA
YPIT
MUTIARA DURI
KOMPLEKS PT CPI SEBANGA DURI
RIAU
28884
HP 085271792820