I.
Sudut Pandang Cerita
Sudut pandang adalah posisi penulis dalam cerita. Hanya ada dua sudut
pandang, yaitu:
1.
Sudut pandang orang pertama
Artinya
penulis terlibat dalam cerita, ditandai dengan adanya seorang tokoh yang
bernama “Aku”.
Terbagi
dua:
a.
Orang pertama pelaku utama
Penulis, si ”Aku”, adalah tokoh utama dalam cerita. Cerita tersebut
adalah peristiwa yang menimpa penulis.
b.
Orang pertama pelaku sampingan
Penulis, si “Aku”, bukan tokoh utama, tapi tokoh sampingan dalam cerita.
Cerita tersebut adalah pengalaman teman, sahabat, saudara, dll. dari penulis
yang penulis— si Aku —ikut terlibat dalam
peristiwa cerita.
2.
Sudut pandang orang ketiga
Artinya
penulis berada di luar cerita; tidak ada tokoh yang bernama “Aku”.
Terbagi
dua:
a.
Orang ketiga terarah
Penulis fokus pada menggali isi pikiran dan perasaan dari tokoh utama.
Tokoh-tokoh lain tampak diabaikan, tidak terlalu diungkap pikiran dan
perasaannya.
b.
Orang ketiga serbatahu
Penulis serbatahu
apa yang dipikirkan dan dirasakan seluruh—sebagian besar—dari tokoh-tokoh dalam
cerita. Sebagian besar tokoh cerita ia ungkap pikiran dan perasaannya.
Contoh-Contoh
1.
Sudut pandang orang pertama
a.
Orang pertama pelaku utama
”Anjing! Angkat tu! Bermenung saja kerjamu!”
Pendek, kecil, hitam. Umur sudah menjelang tua. Ketuaan
umur makin mematangkan kebusukan lidahnya. Kata kasar dan carut tiap sebentar
keluar dari mulutnya. Itulah bosku. Pemborong kami menyebutnya. Ia yang
memimpin proyek renovasi rumah mewah, bertingkat, dan amat luas ini.
Aku bukan
anjing. Aku tahu pasti. Tapi, aku mulai biasa dengan kata itu. Aku jadi sering
memikirkan persamaan.
Mati anjing. Begitu orang kampungku mengumpat dan
mengutuk orang yang dibencinya. Banyak anjing mati tergeletak di mana-mana.
Orang tidak mau tahu. Malah jijik. Muntah.
Anjing dilahirkan untuk dikutuk.
Orang kampungku akan heran dengan anjing Tuan Besar
yang rumahnya sedang aku renovasi. Anjing Tuan ini lebih gagah daripada semua
orang kampungku. Bulunya berkilau, berjumbai indah. Badannya besar, tegap,
tinggi perkasa. Makannya, seporsi makanan anjing ini setara dengan sebulan
makan orang kampungku. Kalau orang kampungku kenal dengan anjing Tuan ini,
mereka tidak akan pernah mengutuk anjing lagi. Mungkin.
Orang kampungku, termasuk keluargaku, turun-temurun
jadi kuli. Itulah kepandaian kami.
Kasar, panas, dan carut-marut dunia kami.
*
”Sudahlah, Di. Sekolah saja dulu. Biar Mak yang cari
uang.”
Mak memandangku dengan mata penuh kasihan dan sayang.
Aku lebih kasihan lagi pada Mak. Membesarkan lima orang anak sendirian bukan
pekerjaan mudah. Aku ingin membantu meringankan beban Mak. Separuh hari
sekolah, separuh hari berkuli. Kalau libur, sepanjang hari aku berkuli.
Aku ingin membahagiakan Mak. Itu citaku.
”Biarlah Adi belajar tentang pahitnya hidup, Mak.
Mungkin berguna nanti.”
”Tapi Mak
kasihan. Pulang kerja kamu terkapar keletihan. Lagian, nanti belajarmu
terganggu.”
”Percayalah pada Adi, Mak. Adi tidak akan mengecewakan
Mak. Insyaallah.”
Mak diam. Itu kalimat pamungkasku. Suara hatiku yang
paling dalam. Mak selalu terdiam kalau mendengar kalimat itu.
”Anjing” karya Abu Syuhada
a.
|
Sekali hari aku datang pula mengupah
Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu
muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan
dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk
pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak
pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya
seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan
aku tanya Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo
Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia
lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan
bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia
begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya
ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di
sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika
sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula
seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka
untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan
kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang
Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu.
Lalu aku
tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
Robohnya Surau Kami, A.A Navis
1.
Orang Ketiga
Orang ketiga terarah
|
Makanya
Si Dali terus diiringi bayang-bayang. Bayang- bayang yang banyak. Ada yang
pendek ada yang panjang, ada yang gemuk ada yang kurus. Tentu saja ke mana pun
dia pergi selalu diiringi bayang-bayang. Karena memang bayang-bayang itu
bayang-bayangnya sendiri. Sebagai bayang-bayang, bayang-bayang itu senantiasa
meniru apa saja yang dilakukan Si Dali. Baik Si Dali makan, tidur, atau jalan-jalan.
Tak sekalipun bayang-bayang itu terpisah dari dia. Dan Si Dali yakin benar,
bayang-bayang itu ada karena dia.
Tanpa dia, bayang-bayang itu semua
sirna. Karena itu semua bayang-bayang memerlukannya. Sangat memerlukannya.Berbeda
dengan orang lain, yang tidak pernah peduli dengan bayang- bayangnya sendiri. Karena
mereka suka hidup bergelap-gelap di tempat gelap. Seolah-olah bayang-bayang
tidak menjadi makhluk penting.
"Bayangkan", kata Si Dali pada
bayang- bayangnya sendiri ketika dia lagi nongkrong di closet. "Jenis
manusia apa yang hidup tanpa bayang-bayang, selain manusia gelap yang suka
bergelap-gelap?"
Si Dali juga membiarkan bayang-bayang
menirukan dengan amat persis apa saja yang dilakukan Si Dali. Apa salahnya
bilamana semua bayang-bayang itu meniru apa yang dilakukannya. Karena peniruan
tidak merugikannya. Bagaimana pun
persisnya peniruan itu, satu hal yang tidak akan diperoleh bayang-bayang, yaitu
serba kenikmatan yang diregup Si Dali. "Tirulah oleh kalian serba apa yang
aku lakukan, tapi jangan coba-coba berkhayal akan ikut menikmati apa yang aku
regup. Karena serba kenikmatan bukan hak kalian. Itulah adalah aksioma."
Bayang-Bayang, A.A. Navis
Bangkuro terdiam di kursinya. Tampak
wajahnya mengerut karena berpikir keras. Ia memahami apa yang disampaikan Yuri.
Ia malah bangga dengan Yuri, seorang pemudi Andalo yang luhur dan pemberani.
Hatinya jadi teriris karena ingat akan putri semata wayangnya, Mutiara, yang mati di medan perang kemarin.
”Pulanglah, anakku!” kata Bangkuro.
Yuri menghormat lalu pergi.
”Bicaralah, Paman Dato,” kata Bangkuro
kepada Penasihatnya yang bijak bestari.
”Baik, Handa,” kata Dato.
Dato diam. Ia pun merasa berat akan apa
yang akan ia sampaikan. Akankah menuruti suara hati nurani atau menuruti
kemauan rakyatnya. Ia telah tua. Umurnya telah mencapai delapan puluh tahun.
Telah banyak asam garam hidup ini yang telah dirasanya. Ia telah merenungi
hidup ini sepanjang ia mulai berpikir. Apa, ke mana, dan untuk apa hidup
manusia di muka bumi ini?
Jurang
Perdamaian, Abu Syuhada
I.
Pendeskripsian Watak
Teknik pendeskripsian watak tokoh cerita ada dua,
yaitu:
1. penggambaran langsung
Maksudnya, penulis langsung menyatakan watak
tokoh; pembaca tidak perlu lagi menafsirkan.
Contoh,
Bangkuro lelaki yang tampan. Jejak
ketampanannya tampak jelas menutupi garis-garis ketuaannya. Ia sangat disayangi
rakyatnya. Di balik kekerasan watak dan pembawaannya tersimpan hati yang sangat
penyayang. Hutan di mana mereka bermukim sangat dijaga oleh Bangkuro dengan
berbagai peraturan. Tidak ada yang boleh dirusak dan diganggu jika tidak
dibutuhkan. Hewan buruan ditangkap sekedar untuk dimakan, bukan untuk
kesenangan. Ia pun menggalakkan bercocok tanam kepada rakyatnya. Bukan hanya
menggantungkan hidup kepada alam seperti yang selama ini mereka lakukan.
Jurang Perdamaian, Abu Syuhada
1. Penggambaran tidak
langsung
Maksudnya, pembaca menafsirkan sendiri watak
tokoh. Watak tokoh ditafsirkan berdasarkan:
a.
fisik tokoh, artinya berdasarkan
kondisi fisik yang digambarkan penulis dalam cerita, pembaca bisa menduga watak
dari tokoh tersebut.
Contoh,
Seorang
dari anak muda ini, ialah anak laki-laki, yang umurnya kira-kira 18 tahun.
Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana pendek hitam, yang berkancing di
ujungnya. Sepatunya sepatu hitam tinggi, yang disambung ke atas dengan kaus
sutera hitam pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya.
Topinya
topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda. Di tangan kirinya ada
beberapa kitab dengan sebuah peta bumi dan dengan tangan kanannya dipegangnya
sebuah belebas, yang dipukul-pukulkannya ke betisnya. Jika dipandang dari jauh,
tentulah akan disangka, anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang
dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa;
karena
kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat.
Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal
dan hitam pula.
Siti Nurbaya, Marah
Rusl
a. ucapan tokoh, maksudnya apa yang diucapkan tokoh menggambarkan wataknya.
Contoh,
"Ah,
tetapi pada sangkaku, walaupun engkau tiada menjadi Penghulu sekalipun, engkau
akan lupa juga kepada kami dan rumah ini," kata putri Rubiah pula.
"Semenjak engkau telah kawin dan beranak, tiadalah lain yang kaupikirkan
anak dan istrimu, serta rumah tanggamu saja."
"Jika
tiada begitu, bagaimana pula? Kalau tiada hamba yang harus memelihara anak istri
hamba, siapa lagi," tanya Sutan Mahmud dengan tercengang.
"Lihatlah!
Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di
Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu?
Bukanlah ada mamandanya, saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? Bukankah
dia yang harus memelihara anakmu, menurut
adat kita?" mendakwa putri Rubiah, "Atau telah lupa pula engkau adat
nenek moyang kita itu?"
"Benar,
tetapi si Marhum tak berapa pendapatannya dan banyak pula tanggungannya yang
lain; jadi malu hamba, kalau si Samsu hamba serahkan ke tangannya," jawab
Sutan Mahmud.
"Ya,
tetapi apabila kemenakanmu yang menjadi tanggunganmu sendiri tersia-sia, tiada
engkau malu," kata putri Rubiah
pula.
"Tersia-sia
bagaimana?" tanya Sutan Mahmud.
"Tidakkah
tersia-sia namanya itu? Tidak dilihat-lihat dan tidak diindahkan. Entah berbaju
entah tidak, entah kelaparan entah kesusahan, entah sakit entah mati. Anakmu
kaumasukkan ke sekolah Belanda, kauturut segala kehendaknya, makan tak kurang,
pakaian cukup. Jika hendak pergi, bendimu telah tersedia akan membawanya, dan
tiada lama lagi akan engkau kirim pula ia ke Jakarta, meneruskan pelajarannya.
Dari situ barangkali ke negeri Belanda pula karena kepandaian di sana, belumlah
memadai baginya. Kalau ada sekolah untuk menjadi raja, tentulah ke sana pula kauserahkan anakmu itu, sebab ia
tak boleh menjadi orang sebarang saja, melainkan harus menjadi orang yang
berpangkat tinggi. Bukankah sekalian itu memakan biaya? Untuk anakmu selalu ada
uangmu, untuk anakku selamanya tak ada."
a. pikiran tokoh, maksudnya apa yang dipikirkan tokoh, itu
menggambarkan wataknya.
Contoh,
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendiri
kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani
menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku
kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap
Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah
sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan
anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta.
Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka. Kenapa juga ketika
selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di
ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan
kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu
kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan
pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang
lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari
Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Takbir
Cinta Zahrana, Habiburrahman
El-Shirazy
a.
ucapan tokoh lain, maksudnya apa yang diucapkan orang lain
terhadap tokoh menggambarkan watak tokoh tersebut. Contoh,
”Bagaimana jiwa Nurul bisa
terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk
membantunya?”
”Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak K.H. Ja’far Abdur Razaq, pengasuh pesantren
besar di Jawa Timur. Selain cantik, dia juga cerdas dan halus budi. Sejak masih kelas satu aliyah
sudah banyak kiai besar yang melamar Nurul untuk puteranya. Nurul tidak mau.
Ketika akhirnya Nurul belajar di Al Azhar, pinangan itu justru semakin banyak. Kiai
Ja’far, ayah Nurul, berkali-kali menelpon Nurul agar segera
menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa sangat tidak enak menolak
pinangan terus-menerus. ……….
Ayat-Ayat
Cinta, Habiburrahman El-Shirazy
a.
perbuatan tokoh, maksudnya perbuatan menggambarkan watak.
Contoh,
Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi
kosong. Kalau mau, aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang
bapak setengah baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat
ada dua bangku kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih.
Kursi masih kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia
tidak mau, malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan berabaya
biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu, bukan
dari pintu dekat yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada
yang lebih berhak. Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia
paham maksudku. Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!”
Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El-Shirazy
a.
lingkungan, maksudnya
lingkungan tempat tinggal tokoh bisa menggambarkan watak tokoh.
Contoh,
Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen1 aku bersiap untuk keluar. Tepat
pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di
Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi pada Syaikh Utsman Abdul
Fattah. Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama legendaris
yang mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru
Besarnya Para Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an di Mesir.
Jadwalku mengaji pada Syaikh yang
terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap Ahad dan Rabu. Beliau
selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen. Tak kenal cuaca dan musim.
Selama tidak sakit dan tidak ada uzur yang teramat penting, beliau pasti
datang. Sangat tidak enak jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu
udara. Sebab beliau tidak sembarang menerima murid untuk talaqqi qiraah
sab’ah. Siapa saja yang ingin belajar qiraah sab’ah terlebih dahulu
akan beliau uji hafalan Al-Qur’an tiga puluh juz dengan qiraah bebas.
Boleh Imam Warasy. Boleh Imam Hafsh. Atau lainnya. Tahun ini beliau hanya
menerima sepuluh orang murid. Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu.
Lebih beruntung lagi, beliau sangat mengenalku. Itu karena, di samping sejak
tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Al-Qur’an pada beliau di
serambi masjid Al Azhar, juga karena di antara sepuluh orang yang terpilih itu
ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku satu-satunya orang
asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia.
Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El-Shirazy
I.
Nilai-Nilai
Nilai-nilai yaitu norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan
yang dianut/dilakukan pada suatu masyarakat.
1. Nilai Sosial
Nilai-nilai yang terkait dengan
norma/aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan berhubungan dengan orang lain. Contoh : saling memberi, tenggang
rasa, saling menghormati pendapat.
|
Melihat kebiasaannya demikian dan sifatnya yang soleh itu, saya
menaruh hormat yang besar atas dirinya dan saya ingin hendak berkenalan. Maka
dalam dua hari sahaja berhasillah maksud saya itu; saya telah beroleh seorang
sahabat yang mulia patut dicontohi. Hidupnya sangat sederhana, tiada lalai
daripada beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tidak
berfaedah, lagi pula sangat suka memerhatikan buku-buku agama, terutama
kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang yang suci, ahli-ahli tasauf
yang tinggi.
Di bawah lindungan Kakbah, Buya Hamka
1. Nilai Moral
Nilai yang
berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti (baik dan buruk).
Misalnya
: berbakti kepada orang tua, jujur, sabar.
Pada waktu malam, ketika akan tidur,
kerap kali ibu menceritakan kebaikan ayah semasa ia hidup; ia seorang
terpandang dalam pergaulan dan amat besar cita-citanya jika saya besar, akan
menyerahkan saya masuk sekolah supaya saya menjadi orang yang terpelajar. Masa
itu daun sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat, orang pun
datanglah berduyun-duyun menghampirkan diri, ini menghampirkan diri, ini
mengatakan mamak, itu mendakwa bersaudara, berkarib famili, rumah-tangga
sentiasa dapat kunjungan dari kiri dan kanan. Tetapi setelah perniagaan jatuh
dan kemelaratan menjadi ganti segala kesenangan itu, tersisihlah kedua
laki-isteri itu dari pergaulan, tersisih dan renggang dari sedikit ke sedikit.
Oleh kerana malu ayah pindah ke Kota Padang, tinggal dalam rumah kecil yang
kami diami itu, supaya namanya hilang sama sekali dari kalangan kaum kerabat
itu.
Di bawah lindungan Kakbah, Buya Hamka
1. Nilai Budaya/Tradisi
Nilai-nilai yang terkait dengan
kebiasaan/ tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh : adat
istiadat : perkawinan, kematian; cara berpakaian, kesenian, upacara adat.
Sungguh aku bersyukur.
Sebagai dukun yang semula paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil
monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking,
kini—sejak seorang sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah—martabatku
meningkat.
Aku kini dikenal sebagai
"orang pintar" dan dipanggil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi dukun
lokal biasa. Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang dari
mana-mana. Bahkan beberapa pejabat tinggi dan artis sudah pernah datang. Tujuan
para pasien yang minta tolong juga semakin beragam; mulai dari mencarikan
jodoh, "memagari" sawah, mengatasi kerewelan istri, hingga
menyelamatkan jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang dengan
tujuan agar jadi.
Konvensi, mustofa bisri
1. Nilai Religi/Agama
Nilai-nilai yang berkaitan dengan
kehidupan beragama.
Karman
tertunduk; Tuhan. Yang dimaksud oleh Kapten Somad pastilah kepercayaan terhadap
keberadaan Tuhan. Ah, ya. Selama menjadi pengikut partai, Karman memang
didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak
membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan
omong kosong. Tuhan pun hanya ada bagi mereka yang menganggapnya ada. Dan
ajaran partainya juga mengatakan kalaulah ada sesuatu yang boleh disebut tuhan,
maka dia adalah partai itu sendiri. Dan revolusi!
Karman
tetap tertunduk. Ada kejujuran yang lambat-laun mengembang dalam dirinya. Ia
ingin mengaku dengan tulus, meskipun ia lama menjadi anggota partai komunis,
bahwa kehadiran Tuhan tetap terasa pada dirinya. Karman tak pernah berhasil
memaksa dirinya percaya bahwa Tuhan sama dengan omong kosong. Dan bahwa pada
kenyataannya, walaupun ia lama bergabung dengan partai komunis, Karman
sebenarnya ingin dipahami melalui jalur yang lain.
Kubah, Ahmad Tohari