Rembulan di Mata
ibu: Sebuah Ulasan
Diah terlalu perasa. Perkataan ibunya yang biasa-biasa saja
dianggapnya pedas, tajam, atau kasar. Ibunya berkata, “Jadi
perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu
kuat!” Perkataan seperti ini dipandang Diah dengan pandangan negatif. Padahal,
ada nilai positif dalam ucapan ibunya itu.
Padahal, saat itu aku sama sekali tidak
menganggur. Sebuah buku berada di pangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku
membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan.
Diah tidak mesti kesal dengan persepsi
ibunya tentang buku karena dalam pengalaman ibunya konsep buku mungkin memang
tidak ada. Menurut ibunya, kerja keraslah yang bisa membuat orang berhasil
menaklukkan tantangan hidup ini, bukan buku atau membaca. Jelas, anggapan ini
ada salahnya, tetapi Diah tidak harus kesal pada ibunya. Seharusnya ia
menunjukkan akhlak yang baik dan kalau bisa memberikan penjelasan yang bisa
dimengerti ibunya. Kalau hari ini ibunya belum memahami, esok, esok, dan
esoknya lagi ia harus mencobanya dengan tidak kenal putus asa.
Di waktu yang lain Ibu mengecam
kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti
kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda
yang berkumpul di sana sedang mencoba menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan
desa. Bagi wanita sederhana itu, mengahalau ternak lebih berguna daripada
bicara panjang lebar, dan adu pendapat.
Tak ada salahnya ibu
memperingatkan Diah ketika ia berkumpul dengan para pemuda karena memang tidak
baik, sangat tidak baik, gadis berkumpul dengan pemuda dengan alasan apa pun,
paling tidak hampir untuk seluruh kondisi. Kalau ia mau menyumbangkan sesuatu
untuk kemajuan desanya, masih banyak cara lain. Dengan jalan perkumpulan sesama
wanita, mungkin.
Jelas terkesan Diah mencari-cari
kesalahan ibunya agar ia bisa membencinya. Lebih tepatnya lagi penulis
mencari-cari kesalahan tokoh ibu agar ia bisa membuat tokoh sang anak benci
kepada ibunya. Kesalahan-kesalahan kecil
kemudian direspon dengan besar.
Kesalahan kemudian ditumpukan kepada sang ibu, tanpa mau melihat
sebenarnya kesalahan juga berada pada diri sang anak. Bahkan, kesalahan itu
lebih besar pada sang anak yang menampakkan kedurhakaan kepada ibunya. Ibu yang
membanting tulang seorang diri membesarkan anak-anaknya.
Diah adalah tokoh seorang anak
yang durhaka kepada ibunya. Ia melawan kepada ibunya di dalam hatinya.
Akan tetapi, kalimat itu hanya kutelan
dalam hati. Tak satu pun ku muntahkan
di hadapannya.
Pada bagian tengah cerita
sampailah Diah pada puncak
kedurhakaannya. Ia perang mulut dengan ibunya.
Kutatap mata Ibu dengan sikap
menantang. Suaraku bergetar saat berkata-kata
padanya.
“Seharusnya Ibu bangga padaku!
Seharusnya Ibu menyemangati, bukan malah
terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang
Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan Ibu!’
kataku berani.
Di depanku, Ibu mentap mataku tajam.
Matanya diliputi kemarahan atas
kelancanganku.
“Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo
jawab, kenapa?!!!”
Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain
untuk mengerem mulutku. Dalam
kelarahan, kulontarkan luka yang
mungkin akan melekat selamanya di hati Ibu.
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!”
Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri
semalaman. Menangis. Batinku
puas, telah kukatakan apa yang menurtku
harus didengar Ibu.
Harus diakui bahwa ibu juga
memiliki banyak kekurangan. Terutama tampak pada sempitnya wawasan sebagai
akibat dari rendahnya tingkat pendidikan.
Sifat buruk yang ditampakkan Diah
pada ibunya tidak boleh ditiru. Sifat ini biasanya dimiliki oleh pemuda/pemudi
seusia Diah tersebut yang juga sempit
cara pandangnya, dan memiliki wawasan keimanan yang kurang.
Pada bagian akhir cerita akhirnya
terbukti bahwa Diah memang telah salah tanggap tentang ibunya. Ia memandang
bahwa ibunya benci kepadanya. Padahal, iabunya sangat sayang kepadanya.
Tokoh Diah adalah seorang remaja
yang banyak tampak pada masa sekarang. Seorang remaja yang tidak sopan kepada
orang tua, meremehkan orang tua karena rendahnya pendidikan orang tua dan telah
tingginya pendidikan mereka. Secara umum Diah tidak pantas ditiru berkenaan
dengan sikapnya kepada ibunya. Kalau cerpen ini adalah sebuah pelajaran maka
tokoh Diah dalam berkenaan dengan muamalahnya dengan ibunya, ia tidak pantas
diteladani.
Dalam aspek lain cerita ini masih
memiliki hikmah yang bisa menambah kekayaan jiwa pembaca. Yaitu betapa seorang
anak sebenarnya telah salah persepsi kepada orang tuanya. Sang anak hanya mampu
menanggapi hal yang tampak dari sikap orang tuanya. Sang anak cenderung selalu
negatif merespon tindakan orang tuanya.
Terbukti bahwa hal ini salah, dan di lain waktu ia harus banyak berpikir
positif tentang orang tuanya.
Itu karena Ibu tak ingin kau terluka.
Ibu tak ingin kau kecewa. Itu sebabnya Ibu
tak pernah memujimu. Kau harus punya
hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Ibu
ingin anak bungsu Ibu menjadi sosok
yang berbeda. Seperti rembulan merah jambu,
bukan kuning keemasan seperti yang kita
lihat.”