Proses
Kreatif Cerpenis Kurnia Effendi dalam
Menulis Cerpen
Mengapa Anda menulis cerpen?
Karena cerpen adalah prosa sehingga lebih bebas
dari puisi. Tetapi saya juga menulis puisi. Oleh karena cerpen sebagai prosa
lebih bebas, saya sangat memanfaatkannya. Misalnya, dengan jumlah halaman yang
bebas, sangat pendek (400 kata, yaitu cerpen "Mengapa Hiuma
Berduka?") atau sangat panjang (33 halaman, cerpen "Alyesha Tak Mau
Tidur"). Lalu saya juga membuat cerpen-cerpen yang merupakan bagian dari novel, baik yang
ditulis sendiri maupun yang ditulis berdua dengan Iksaka Banu ("Arah
Angin", "Romansa Braga", "Studio", dan akan menyusul
judul-judul lain). Saya juga menulis cerpen menjadi semacam komposisi
("Air", "Api", "Angin", dan "Tanah").
Saya juga menulis cerpen eksperimen. Dengan cerpen saya bisa memadukan
antara fakta dan iksi, dan dengan cerpen saya dapat memberikan 'pertanyaan'
atau 'kegelisahan' baru kepada pembaca, juga kepada diri sendiri.
Anda makin produktif, ya dalam menulis cerpen?
Saya tidak setuju. Cerpenis dan penyair paling
produktif saat ini adalah Isbedy Stiawan. Lihat di setiap minggunya, merambah
tak hanya koran Jakarta, tetapi juga koran Sumatra. Saya juga (hendak) tidak
setuju jika saat ini menjadi puncak produktivitas saya. Mungkin belum. Karena
masih banyak rencana yang tercecer oleh libasan waktu dan kesibukan pekerjaan
kantor. Mudah-mudahan puncak produktivitas itu adalah tahun depan, dan saya
akan terus mengatakan 'tahun depan'setiap tahun.
Apa setiap hari Anda menulis cerpen?
Setiap hari menulis cerpen? Maunya begitu. Tapi sebagai manusia yang setelah saya teliti
tak memiliki program robotik di kepala, ternyata tak sepenuhnya bisa. Meskipun
demikian, saya mencoba disiplin, setiap malam membuka komputer, membuka ile
yang masih setengah jalan, mengetik satu dua kalimat, atau menyelesaikan akhir
cerita, atau mengedit yang sudah jadi. Mungkin saja satu cerpen jadi dalam satu
hari.
Bagaimanakah tips Anda dalam menghadapi soal rasa 'jenuh'?
Setiap pengarang tentu pernah mengalami masa
jenuh. Contohnya Eka Kurniawan, setiap menyelesaikan penerbitan sebuah buku,
yang proses editingnya memakan waktu, selalu kosong untuk kembali menulis dalam
beberapa minggu. Saya pun kerap merasa buntu. Untuk mengatasi hal seperti itu,
saya mencari kegiatan lain, yaitu melakukan tarveling, melihat pameran lukisan,
nonton film-film yang menggugah imajinasi. Tapi, yang paling sering saya
lakukan adalah menemui teman-teman sastrawan. Dengan ngobrol bersama mereka,
biasanya lantas ada gagasan-gagasan yang gemerlapan di langit kreatif saya.
Ceritakan sedikit cara Anda menulis cerpen?
Contoh cerpen yang lama pengerjaannya, banyak.
Sulit untuk memberikan contoh yang tepat, karena kadang-kadang menulis lama itu
juga saya buat sendiri. Saya selalu menyimpan sekitar sepuluh judul dalam
disket, lama sebentarnya tulisan itu kan tergantung dari frekuensi saya membuka
ile. Tapi, dalam menulis cerpen yang mengandung latar sejarah memang prosesnya
lama dan tentu harus lebih teliti dibanding cerpen-cerpen biasa.
Pernahkah Anda menulis cerpen dalam
waktu yang singkat?
Cerpen tersingkat seingat saya adalah:
"Air", "Api", "Angin", dan "Tanah".
Saya lupa persisnya, mungkin hampir 2 jam (saya tulis dalam akurasi menit awal
dan akhirnya di pengujung cerpen), yang dimuat di Jurnal Prosa vol. 2 tahun
2002. Memang seperti ada tangan gaib yang mengendalikan, dan otak saya begitu
cair. Sekali duduk di depan komputer, selesai sudah. Cerpen yang saya tulis
cepat biasanya berkaitan dengan tenggat waktu (deadline). Lain halnya
dengan cerpen "Roti Tawar" dan "Juru Rias dan Seorang Pesolek" (keduanya dimuat Kompas dalam
rentang 3 minggu), keduanya itu saya tulis dalam sehari.
Bagaimanakah soal ide cerita
cerpen Anda?
Ide cerpen saya peroleh dari banyak hal. Setiap
lintasan gagasan selalu saya 'simpan' dalam bentuk judul. Itulah cara saya agar
tak lupa. Cara kedua adalah menceritakan gagasan itu kepada teman yang sedang
berada di dekat saya. Jika saya lupa,
saya tinggal tanya kepadanya. Suatu malam, saya makan bertiga dengan
Amorita dan Andy fuller, lalu saya ceritakan keinginan saya menulis seorang
tokoh patah hati yang perilakunya nyaris di luar nalar. Jika nanti saya lupa
alurnya, saya akan tanya kepada mereka. Setiap perjalanan juga menumbuhkan semacam
benih cerita. Beberapa perjalanan tugas saya ke Surabaya, sempat terurai
menjadi "Abu Jenazah Ayah", tokoh-tokoh di dalamnya nyata, tetapi
peristiwa menabur abu jenazah adalah gagasan. Ketika saya menjenguk pakde saya
di Banten yang sakit menahun, saya terpesona dengan arah cahaya yang menerobos
jendela dan menyinari sebagian tubuhnya yang terbaring kisut. Lantas saya
perhatikan setiap gerakannya dan terkejut ketika ingin melanjutkan rokoknya
yang padam separuh jalan. Lalu jadilah "Menemani Ayah Merokok".
Guyuran gerimis yang menemani jalan-jalan malam saya di Tokyo, ketika
merencanakan perjalanan ke Disney Sea keesokan harinya, semua koridor pertokoan
yang selalu penuh orang, dan sebuah sudut dengan cafe Starbucks; menjadi sebuah
suasana yang melatari cerpen saya "Lelaki yang Menghilang dalam
Gerimis." Peristiwa tsunami tentu mengilhami banyak pengarang. Saya
membidiknya dari perasaan seorang anak yang ditinggal pergi ayah-putus-asanya,
setelah kehilangan ibu dan adiknya, saya segera teringat lagu Leo Kristi yang
berjudul "Laut Lepas Kita Pergi", yang begitu mistis dan kaya cerita.
Maka kutulis cerpen dengan judul yang sama.
Jika cerpen Anda ditolak? Bisa
cerita sedikit?
Jangan dikira naskah saya tak pernah ditolak.
Dalam kasus ini, kita harus arif menerimanya, karena tidak semua cerpen cocok
untuk media massa tertentu. Saya selalu menerima kenyatan itu, meskipun awalnya
cerpen itu merupakan pesanan. Nyatanya, di satu media ditolak, ternyata di
media lain sesuai. Atau, di satu media kalah sayembara, di
media lain justru menjadi terbaik. Bukankah selera redaksi juga
berbeda-beda. Dulu merasa kecewa, sekarang tertawa saja.
Kalau cerpen Anda dimuat?
Jika cerpen saya dimuat, saya merasa gembira
sewajarnya. Jika kemudian dibahas kawan-kawan, gembira lagi. Ujung-ujungnya
memacu untuk menulis (yang lebih baik) lagi. Jadi, produktivitas saya
kadang-kadang dipancing oleh cerpen yang dimuat.
Konon nama Anda jadi rebutan banyak media? Apalagi dua kumpulan
cerpen selalu muncul setahun dua?
Itu pasti kabar burung. Tidak setiap cerpen saya
bisa diterima. Tetapi, saya memang menulis dengan tema dan cara yang cukup
luas. Sampai saat ini, saya selain menulis di koran (Kompas, Kortem, Media,
Republika, Suara Karya, Lampung Post, Suara Merdeka, dll), juga menulis di
majalah (Femina, Kartini, dan Matra). Saya juga masih menulis cerpen remaja di
majalah Gadis dan kumpulan cerpen Cinta. Sesekali menulis
untuk Jurnal (Jurnal Prosa, Jurnal Cerpen, Jurnal Cak, Jurnal Kolong) atau
majalah Horison. Ternyata, saya juga menulis cerita anak-anak di Bee Magazine.
Prinsipnya saya menulis tidak dengan cara membeda-bedakan media.
Selera Redaktur Seni dan Budaya tiap koran itu gimana sih?
Untuk pertanyaan ini jawabnya sangat subjektif
sebagai penafsiran saya pribadi. Saya berpendapat, Kompas memuat cerpen-cerpen yang memiliki dampak
pemahaman seluas mungkin pembacanya, karena tirasnya mungkin di atas 600 ribu
eksemplar. Adapun Koran Tempo lebih
konsentrasi terhadap gaya dan eksplorasi bahasa, sesuatu yang hidup dan
menawarkan gagasan. Nah, tinggal pilih, mana yang lebih membanggakan?
Apakah ada proses tambal sulam
untuk naskah Anda yang ditolak?
Tentu ada proses itu. Ketika ditolak oleh A, saya
mencoba mencari sebabnya. Lalu saya perbaiki dan saya kirim ke B. Begitu
sebaliknya. Tetapi saya tidak selalu mengirimkan cerpen yang ditolak kepada
koran yang dianggap tidak populer. Justru pernah terjadi sebaliknya. Itu biasa
saja. Kembali kepada jawaban saya, bahwa tidak semua naskah cocok untuk sebuah
media. Pintar-pintar kita memprediksi. Sebagai pengarang tentu kita tahu, mana
untuk majalah dan mana untuk koran, atau jurnal.
Anda masih menulis cerpen remaja, ya?
Entahlah. Rasanya saya begitu mudah. Mungkin
resepnya, menulis jangan semata teknis namun juga keterlibatan perasaan. Beda
'rasa' menulis cerpen, puisi, dan novel? Menulis cerpen karena lebih singkat
dari novel, gagasan yang bisa selesai sekali duduk, biasanya saya tidak
memerlukan persiapan khusus. Bisa di sela-sela pekerjaan. Bisa dibuat rutin,
misalnya sejak jam 22 sampai 24.30. Menulis seperti sedang mengendarai sebuah
sepeda keliling taman: ringan dan mengalir. Jadilah tokoh itu, rasakan, dan
ikuti ke mana pun nasibnya melangkah. Menulis puisi bisa sambil menunggu
antrean dokter, dalam penerbangan, atau saat menunggu menu diantar di sebuah
warung makan. Tak harus dengan sangaja. Menulis novel, wow! Saya iri dengan
para remaja yang piawai menulis teenlit begitu tebal. Seperti tanpa beban.
Adapun saya, novel masih menjadi cita-cita. Tapi sebentar lagi akan terbit novel
remaja saya berjudul Selembut Lumut Gunung, saya sedang mempelajari kontraknya. Target saya tentu novel yang akan
menggema panjang, semacam Olenka (Budi
Darma) atau Seratus Tahun Kesunyian
(Gabriel Garcia Marquez).
Hubungannya dengan 'ketangkasan' menulis puisi dengan prosa?
Barangkali talenta. Tapi tak mungkin terealisasi
tanpa dicoba dengan mencobanya. Seperti umumnya pelajar yang berbakat, selalu
dimulai dengan karir di majalah dinding. Sejak awal memang saya menulis dua
jenis itu: puisi dan prosa.
Saran untuk penulis cerpen pemula?
Menulis jangan dibebani hal-hal yang belum
terjadi. Misalnya, khawatir hasilnya jelek, cemas jika ditolak. Mulai saja.
Karena Margaret yang baru 14 tahun sanggup menulis novel Amore. Jadikan itu sebagai sumber kecemburuan positif.
Anda punya kesan menulis yang realis, ya?
Saya tak yakin, apakah ada garis perbedaan yang
jelas pada cerpen-cerpen saya perihal realisme dan surealisme? Coba baca
"Seseorang Mirip Nuh", "Tumbal", "Air Mengalir dari
Ujung Jemarinya", "Air Api Angin Tanah", "Kincir Api",
"Tulang Rusuk" -- apakah itu realisme, atau surealisme? Ah, sudahlah,
mari kita menulis tanpa tendensi.
Anak Anda ada yang mengikuti jejak menulis?
Anak saya pertama, Najma Amtanifa, lagi getol
menulis cerpen dan novel. Menurut Redaktur majalah Gadis, dia berbakat. Tapi
saya menganjurkan untuk tidak memuatnya. Biarkan 'sempurna' dulu. Anak yang
kedua laki-laki, Aif Saii Hirzan,
tampaknya juga niru-niru ingin bisa menulis. Biarlah mereka berkembang dengan
sendirinya. Saya menyarankan agar menulis cerita jangan meniru cerita orang
lain. Biasanya saya kejar dengan pertanyaan untuk menguji kelogisan cerita.
Saya membelikan buku-buku cerita yang baik untuk referensi atau pengayaan
literatur. Berdiskusi jika mereka bertanya ini-itu, terus memanas-manasi agar
bersemangat terus menulis, tentu di usai PR-nya.
Sumber: www.penulis lepas.com