Periodisasi Sastra Indonesia
Kesastraan
di Indonesia dibagi dalam beberapa periode. Salah satu
sastrawan
yang membuat periodisasi sastra adalah Rachmat Djoko
Pradopo.
Periodisasi sastra yang dibuatnya seperti berikut.
1. Periode
Angkatan Balai Pustaka (1920)
Jenis
sastra yang dihasilkan pada periode ini sebagian besar adalah
roman.
Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang berupa
syair
dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut umumnya
disisipkan
dalam roman untuk memberi nasihat kepada pembaca.
Berikut
ini ciri-ciri karya sastra Angkatan Balai Pustaka.
a.
Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah,
dan
peribahasa.
Contoh:
. . .
.
Bukankah
telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak dapat
ditolak,
mujur tak dapat diraih? Bukankah setahun telah engkau
ketahui
untungku, karena engkau telah mendapat mimpi tentang
nasibku
itu?
. . .
.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dalam kutipan di atas tampak bahwa novel Siti Nurbaya menggunakan
gaya
bahasa yang mengandung pepatah.
b.
Alur yang digunakan sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga
yang
mempergunakan alur sorot balik, misalnya Azab dan Sengsara
dan Di
Bawah Lindungan Ka bah.
c.
Teknik penokohan dan perwatakannya menggunakan analisis
langsung.
Contoh:
. . .
.
Jika
dipandang dari jauh, tentulah akan disangka; anak muda
ini
seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi
jika
dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena
kulitnya
kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam
sebagai
dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata
kelihatan
alis matanya yang tebal dan hitam pula. Hidungnya
mancung
dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak gemuk dan
tak
kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang jernih dan tenang,
berbayang,
bahwa ia seorang yang lurus, tetapi keras hati; tak mudah
dibantah,
barang sesuatu maksudnya. Menilik pakaian dan rumah
sekolahnya,
nyata ia anak seorang yang mampu dan tertib sopannya
menyatakan
ia anak seorang yang berbangsa tinggi.
. . .
.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dalam
kutipan di atas bentuk fisik Samsulbahri digambarkan
secara
langsung.
d.
Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode
orang
ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode
orang
pertama, misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan
Ka
bah.
Contoh:
. . .
.
Ah,
jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan
sehari
dua bekerja pada ayahmu.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
e.
Banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan
dengan
inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair, dan
pantun
nasihat.
Contoh sisipan pantun:
. . .
.
Ke
rimba berburu kera,
dapatlah
anak kambing jantan.
Sudah
nasib apakah daya,
demikian
sudah permintaan badan.
. . .
.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
f. Bersifat
didaktis. Sifat ini berpengaruh sekali pada gaya penceritaan
dan
struktur penceritaannya. Semuanya ditujukan kepada
pembaca
untuk memberi nasihat.
Contoh:
. . .
.
Ketahuilah
olehmu, Samsul, walaupun di dalam dunia ini dapat
kita
memperoleh kesenangan, kekayaan, dan kemuliaan, akan tetapi
dunia
ini adalah mengandung pula segala kesusahan, kesengsaraan,
kemiskinan,
dan kehinaan yang bermacam-macam rupa bangunnya
tersembunyi
pada segala tempat, mengintip kurbannya setiap
waktu,
siap menerkam, barang yang dekat kepadanya.
. . .
.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Isi
kutipan di atas memberi nasihat kepada Samsulbahri dan
pembaca
untuk berhati-hati dalam hidup.
g.
Bercorak romantis (melarikan diri) dari masalah kehidupan seharihari
yang
menekan.
Contoh:
. . .
.
Aku
masuk jadi bala tentara ini bukan karena apa, hanya
karena
hendak . . .” di situ terhenti Letnan Mas bercakap-cakap
sebagai
tak dapat ia mengeluarkan perkataannya . . . ” mencari
kematian.”
”Apa
katamu?” tanya Van Sta dengan takjub.
”Mencari
kematian, kataku,” jawab Mas dengan sedih. Tetapi
sekarang
belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya benar kata
pepatah
Melayu: sebelum ajal, berpantang mati.
. . .
.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari
kutipan di atas dapat diketahui bahwa Letnan Mas atau
Samsulbahri
berusaha bunuh diri untuk lari dari masalah yang
dihadapinya.
h.
Permasalahan adat, terutama masalah adat kawin paksa,
permaduan,
dan sebagainya.
Contoh:
. . .
.
”Yang
paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak
lain
hanyalah Rapiah, anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa
dengan
ibu hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan
sebuah-sebuah
kebaikannya, jika engkau memulangi Rapiah.
Pertama,
adalah menurut sepanjang adat, bila engkau memulangi
anak
mamakmu. Kedua, rupa Rapiah pun dikatakan tidak buruk.
Ketiga,
sekolahnya cukup, tamat HIS. Keempat, ia diasuh baikbaik
oleh
orang tuanya. Lepas dari sekolah ia dipingit, lalu diajar
ke
dapur, menjahit, dan merenda. Kelima perangainya baik, hati
tulus,
dan sabar. Keenam – ah, banyak lagi kebaikannya, Hanafi.
. . .
.
Dikutip
dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai
Pustaka,
Jakarta, 1987
Dari
kutipan di atas diketahui masalah kawin paksa yang harus
dilakukan
oleh tokoh Hanafi.
i.
Pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum
tua
mempertahankan adat lama, sedangkan kaum muda menghendaki
kemajuan
menurut paham kehidupan modern.
Contoh:
. . .
.
”Ibu
orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,”
demikian
ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani
di
beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya.
”Di
rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur
lantai
sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku
orang
Belanda saja.”
”Penat
pinggangku duduk di kursi dan berasa pirai kakiku
duduk
berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. ”Kesenangan ibu hanyalah
duduk
di bawah, sebab semenjak ingatku duduk di bawah saja.”
”Itu
salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka
menurutkan
putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan
duduk
mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau
bangsa
kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu . . . brrrr!”
. . .
.
Dikutip
dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai
Pustaka,
Jakarta, 1987
Dari
kutipan di atas dapat diketahui bahwa antara tokoh Hanafi
dan
ibunya terjadi pertentangan paham mengenai letak perabotan
yang
ada di rumahnya.
j.
Latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan
daerah.
Misalnya, novel Sitti Nurbaya memiliki latar tempat di
daerah
Padang.
k.
Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman
antah-berantah.
l.
Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih
bersifat
kedaerahan.
Contoh:
. . .
.
”Uang
belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malelo
dengan
senyum merengut. ”Ada-ada saja kompeni itu, untuk
mencari
uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu?”
. . .
.
Dikutip
dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai
Pustaka, Jakarta, 1988
Dari
kutipan di atas dapat diketahui bahwa masalah yang terjadi
masih
bersifat kedaerahan saja. Masalah tersebut tentang uang
belasting
yang terjadi di Padang.
2. Periode
Angkatan Pujangga Baru (1930)
Pada
periode Pujangga Baru jenis sastra yang dihasilkan sebagian besar
puisi.
Selain itu, karya sastra berjenis cerita pendek dan drama sudah
mulai
ditulis.
Berikut
ini ciri-ciri karya sastra periode Pujangga Baru.
Puisi
a.
Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
b.
Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
c.
Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
d.
Hubungan antarkalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang
ambigu.
e.
Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan
tenteram.
f.
Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.
Contoh:
Padamu
Jua
. . .
.
Di
mana engkau
Rupa
tiada
Suara
sayup
Hanya
kata merangkai hati
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa
aku dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Nanar
aku, gila sasar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau
pelik menarik ingin
Serupa
dara di balik tirai
Kasihmu
sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu
waktu – bukan giliranku
Mati
hari – bukan kawanku . . . .
Dikutip
dari: Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah, Dian Rakyat,
Jakarta,
1985
Dari
puisi ”Padamu Jua” dapat diketahui bahwa puisi angkatan
ini
bukan termasuk pantun atau syair lagi. Pilihan kata-katanya
sangat
indah dan diwujudkan dalam rima yang sesuai. Puisi
”Padamu
Jua” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada
sang kekasih.
Dalam puisi ”Padamu Jua” terdapat bahasa kias yang
berupa
perbandingan, seperti serupa dara di balik tirai.
Pada
puisi ”Padamu Jua” masih mempertahankan persajakan.
Persajakan
ini dapat dilihat pada setiap baitnya.
Contoh:
Kasihmu
sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu
waktu – bukan giliranku
Mati
hari – bukan kawanku . . .
Prosa
a.
Alurnya lurus.
b.
Teknik perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung.
Deskripsi
fisik sudah sedikit.
Contoh:
. . .
.
”Aduh,
indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil
ditariknya
tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah
bagus
mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi
di
celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya,
sebagai
air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan
melihat
menurut arah telunjuk Maria, ia pun berkata, ”Ya, bagus.”
Tetapi
suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.
. . .
.
Dikutip
dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai
Pustaka,
Jakarta, 1989
Dari
kutipan tersebut dapat diketahui watak Maria yang mudah
memuji
dan watak Tuti yang tidak mudah kagum atau memuji.
Watak
Maria dan Tuti dapat dilihat dari percakapan antara Maria
dan
Tuti.
c.
Tidak banyak sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat.
d.
Pusat pengisahannya menggunakan metode orang ketiga.
e.
Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan,
pepatah,
dan peribahasa.
f.
Masalah yang diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat
kota,
misalnya masalah emansipasi, pemilihan pekerjaan, dan
masalah
individu manusia.
Contoh:
. . .
.
Dalam
sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti
membelah.
”Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang
terhormat!
Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian
besar
ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya
kedudukan
perempuan dalam masyarakat yang akan datang.
Janganlah
sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita-cita
yang
demikian semata-mata berarti berunding tentang anganangan
dan
pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis
sedikit
jua pun.
. . .
.
Dikutip
dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana,
Balai
Pustaka, Jakarta, 1989
Dari
kutipan di atas dapat diketahui bahwa salah satu masalah
yang
ditampilkan adalah masalah emansipasi wanita.
g.
Bersifat didaktis.
3. Periode
Angkatan 45 (1940)
Pada
periode ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi, cerpen, novel,
dan
drama.
Berikut
ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 45.
Puisi
a.
Puisi bebas, tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan
persajakan
(rima).
b.
Pilihan kata atau diksi mempergunakan kosakata bahasa seharihari.
c.
Menggunakan kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat ambigu
menyebabkan
arti ganda dan banyak tafsir.
d.
Mengekspresikan kehidupan batin atau kejiwaan manusia melalui
peneropongan
batin sendiri.
e.
Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme
universal). Misalnya, tentang kesengsaraan
hidup, hak-hak asasi
manusia,
masalah kemasyarakatan, dan kepincangan dalam
masyarakat,
seperti gambaran perbedaan mencolok antara
golongan
kaya dan miskin.
f.
Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
Contoh:
Aku
Kalau
sampai waktuku
Ku mau
tak seorang kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan
aku akan lebih tidak peduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi
Chairil
Anwar, Maret 1943
Puisi ”Aku”
tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan
persajakan.
Pada bait pertama terdiri atas tiga baris. Pada bait kedua
terdiri
atas satu baris. Pada bait ketiga terdiri atas dua baris. Puisi
”Aku”
mengekspresikan langsung perasaan penyair. Diksi atau
pilihan
kata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari.
Dalam
puisi ”Aku” terdapat kalimat-kalimat ambigu yang
menyebabkan
banyak tafsiran seperti kalimat Aku mau hidup seribu
tahun
lagi yang berarti
penyair benar-benar ingin hidup sampai
seribu
tahun lagi atau penyair ingin gagasan dan semangatnya
diteruskan
dari generasi ke generasi walaupun penyair telah
meninggal.
Hubungan
baris dan kalimat pada puisi ”Aku” tidak terlihat,
karena
tiap-tiap kalimat pada puisi ”Aku” seperti berdiri sendiri.
Misalnya,
pada bait 1 dan 2 secara kosakata tidak berhubungan.
Namun,
secara makna bait 1 dan 2 berhubungan.
Puisi
”Aku” mengekspresikan kehidupan batin manusia yang
tetap
berpegang teguh pada pendiriannya untuk hidup bebas.
Masalah
yang diungkapkan adalah masalah hak asasi manusia
untuk
bebas dan berpegang teguh pada prinsipnya. Filsafat
eksistensialisme
mulai tampak dalam puisi ”Aku”. Dalam puisi
”Aku”
penyair mulai menghargai keberadaannya meskipun
dalam
keadaan yang terasing dan tersiksa.
Prosa
a.
Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus.
b.
Sisipan-sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat.
c.
Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang
ditonjolkan
analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis
langsung,
melainkan dengan cara dramatik.
d.
Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya
kesengsaraan
kehidupan, kemiskinan, kepincangan-kepincangan
dalam
masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi
manusia
oleh manusia.
Contoh:
. . .
.
Banyak
yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur
dan
menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan
yang
semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada
warung
yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang
sudah
dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya dipajak gadai.
. . .
.
Dikutip
dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya,
Jakarta, 1990
Dari
kutipan tersebut dapat diketahui masalah yang dikemukakan
adalah
masalah kemiskinan yang dihadapi tokoh utamanya (Guru
Isa).
e.
Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal. Misalnya,
masalah
kesengsaraan karena perang, tidak adanya perikemanusiaan
dalam
perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutanketakutan
manusia,
impian perdamaian, dan ketenteraman hidup.
Contoh:
. . .
.
Isa
berdiri terengah-engah karena sudah tidak biasa berlari
lagi.
Gadis-gadis Palang Merah itu hendak kembali mengambil
orang
Tionghoa yang luka, tetapi orang-orang menahan.
”Jangan,”
kata mereka, ”ubel-ubel itu tidak peduli Palang
Merah.”
. . .
.
Dikutip
dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya,
Jakarta, 1990
Dari
kutipan tersebut dapat dilihat tidak adanya perikemanusiaan
dalam
perang. Bahkan, untuk menolong orang yang terluka saja
tentara-tentara
tetap menembaki anggota Palang Merah.
f.
Mengemukakan pandangan hidup dan pikiran-pikiran pribadi
untuk
memecahkan sesuatu masalah.
Contoh:
. . .
.
Guru
Isa merasa perubahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan
pada
tubuhnya tidak menakutkan lagi. . . . orang harus belajar
hidup
dengan ketakutan-ketakutannya . . . . Sekarang dia tahu
. . .
. Tiap orang punya ketakutannya sendiri dan mesti belajar
hidup
dan mengalahkan ketakutannya.”
. . .
.
Dikutip
dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya,
Jakarta, 1990
Dari
kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Guru Isa mengemukakan
pikirannya
untuk mengatasi rasa takut dan ia berhasil.
g.
Latar cerita pada umumnya latar peperangan, terutama perang
kemerdekaan
melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang
menentang
Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan
masyarakat
sehari-hari.
Contoh:
. . .
.
Ketika
tembakan pertama di Gang Jaksa memecah kesunyian
pagi,
Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah
Abang.
Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa waswas tentang
keselamatan
istri dan anaknya.
. . .
.
Dikutip
dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya,
Jakarta, 1990
Latar
kutipan novel Jalan Tak Ada jung menunjukkan latar
suasana
mencekam karena masih dalam suasana peperangan.
4. Periode
Angkatan 50 (1950)
Sesungguhnya
ciri-ciri karya sastra Angkatan 45 dan Angkatan 50
sukar
dibedakan. Angkatan 45 diteruskan oleh Angkatan 50.
Berikut
ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 50.
Puisi
a.
Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi
cerita
dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana.
Misalnya:
Puisi-puisi
karya Rendra, seperti ”Balada Terbunuhnya Atmo
Karpo”,
”Blues untuk Bonnie”, atau ”Nyanyian Angsa”.
b.
Gaya ulangan mulai berkembang.
c. Ada
gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup
yang
penuh penderitaan.
d.
Mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti, kemiskinan,
pengangguran,
perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya
pemerataan
hidup.
Contoh:
Blues
untuk Bonnie
Kota
Boston lusuh dan layu
kerna
angin santer, udara jelek.
Dan
malam larut yang celaka.
Di
dalam cafe itu
seorang
penyanyi Negro tua
bergitar
dan bernyanyi.
Hampir-hampir
tanpa penonton.
. . .
.
Ia
bernyanyi.
Suaranya
dalam.
Lagu
dan kata ia kawinkan
lalu
beranak seratus makna.
Georgia.
Georgia yang jauh.
. . .
.
Dikutip
dari: Blues untuk Bonnie, Rendra, Pustaka Jaya, Jakarta, 1976
Puisi
”Blues untuk Bonnie” berbentuk balada. Dari kutipan di atas
dapat
dilihat adanya gaya ulangan, seperti pada baris kelima. Pada
baris
kelima tersebut kata eorgia diulang.
Puisi
”Blues untuk Bonnie” menggambarkan suasana muram dan
penderitaan
kaum Negro yang tinggal di gubug-gubug yang
bocor.
Masalah
yang diungkapkan dalam kutipan puisi di atas adalah
masalah
kemiskinan yang dihadapi oleh seorang penyanyi
Negro
tua.
Prosa
a.
Tidak terdapat sisipan cerita sehingga alurnya padat.
b.
Cerita perang mulai berkurang.
c.
Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari.
d.
Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap.
e.
Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.
5. Periode
Angkatan 1970
Dalam
periode ini mulai berkembang sastra pop dan novel pop.
Berikut
ini ciri-ciri karya sastra periode Angkatan 1970.
Puisi
a.
Mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa frasa.
b. Mempergunakan
teknik pengungkapan ide secara sederhana,
dengan
kalimat-kalimat biasa atau sederhana.
c.
Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
d.
Menuntut hak-hak asasi manusia misalnya: kebebasan, hidup
merdeka,
bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak,
dan
bebas dari pencemaran kehidupan modern.
e.
Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap
kaum
lemah, dan kritik atas penyelewengan.
Contoh:
Solitude
Oleh:
Sutardji Calzoum Bachri
yang
paling mawar
yang paling
duri
yang
paling sayap
yang
paling bumi
yang
paling pisau
yang
paling risau
yang
paling nancap
yang
paling dekap
samping
yang paling
kau!
Sumber:
Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo, Gramedia, Jakarta, 2002
Pada
puisi ”Solitude” kata yang paling diulang-ulang. Puisi ”Solitude”
menggunakan
kata-kata dan kalimat-kalimat yang sederhana. Puisi
”Solitude”
menunjukkan kesepian hati penyair. Penyair merasa bahwa
Tuhanlah
segala-galanya dan ditunjukkan dengan kalimat:
samping
yang paling
Kau!
Kata Kau!
pada puisi ”Solitude” mengacu kepada Tuhan.
Prosa
a.
Alur berbelit-belit.
b.
Pusat pengisahan bermetode orang ketiga.
Contoh:
. . .
.
”Tiap
langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada
dirinya sendiri.”
. . .
.
Dikutip
dari: iarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
Dari
kutipan di atas dapat dilihat bahwa novel iarah menggunakan
sudut
pandang orang ketiga. Penulis menyebut tokoh
utama
dengan sebutan ”dia”.
c.
Mengeksploitasi kehidupan manusia sebagai individu, bukan
sebagai makhluk komunal.
Contoh:
. . .
.
”Tiap
langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada
dirinya sendiri.”
. . .
.
Dikutip
dari: iarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
Dari
kutipan tersebut dapat dilihat bahwa penulis hanya mengeksploitasi
manusia
sebagai makhluk individu yang hanya
menghargai
keberadaan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari
kalimat
pada dirinya sendiri.
d.
Mengemukakan kehidupan yang tidak jelas.
e.
Mengedepankan warna lokal (subkultur), latar belakang
kebudayaan
lokal.
f.
Mengemukakan tuntutan atas hak-hak asasi manusia untuk bebas
dari
kesewenang-wenangan, baik yang dilakukan oleh anggota
masyarakat
lain atau oleh pihak-pihak yang berkuasa.
Sumber:
Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
Rachmat
Djoko Pradopo, 1995, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
6. Periode
Angkatan 2000
Pada
dasarnya, terbentuknya sebuah angkatan sastra harus
memenuhi
dua syarat. Pertama, adanya sekelompok sastrawan yang
menjadi
pendukung angkatan sastra tersebut. Kedua, adanya karya
sastra
yang inovatif, spesifik, kreatif, inspiratif, dan mengandung
pergeseran
pemikiran dengan cara mengungkapkan pemikiranpemikiran
baru
dan pendirian-pendirian baru dengan bentuk yang
berbeda
dari angkatan sebelumnya sehingga melahirkan wawasan
estetik
yang baru.
Perkembangan
perpuisian Indonesia mutakhir adalah
keberagaman
gaya dan tema sebagai ciri khas Angkatan 2000. Ciriciri
yang
lain adanya pembaruan estetik, muatan tematik, karakter
yang
spesifik. Secara umum ”Sastra Angkatan 2000” menampakkan
makna
yang sangat berharga sebagai sumbangan nilai-nilai
kemanusiaan
sebagai bukti bahwa sastra Indonesia dinamik dan terus
berkembang
dan konsisten membela hak-hak masyarakat meskipun
ditekan
oleh kebijakan penguasa yang hampir tidak mendukung
kehidupan
berkesusastraan yang kondusif.
Dalam mainstream
perpuisian angkatan ini, puncak pencapaian
secara
monolit terdapat dalam bahasa dan pengucapan Afrizal Malna.
Sebagai
pemimpin literer puisi dan pemikiran sastra angkatan ini,
Afrizal
melahirkan pembaruan yang merupakan wujud wawasan
estetik
Angkatan 2000. Pergeseran wawasan estetik ditandai
berubahnya
struktur larik dan bait. Larik pada Afrizal Malna bersifat
netral
karena puisi Afrizal sebenarnya tersusun dalam bait yang
sesungguhnya
nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak
dapat
dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah.
Larik
sama fungsi dan kedudukannya dengan bait karena larik tersebut
merupakan
bait. Dengan revolusi tipografi tersebut, Afrizal mengubah
arus
dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga
akhir
bait ke arah komunikasi kata per kata di dalam sajak.
Pembaruan
juga terdapat pada pilihan dan kedudukan kata yang
membawa
pergeseran pada penempatan lirikus dari ”aku lirik” kepada
”benda-benda”.
Afrizal Malna menggeser peran aku lirik kepada
benda-benda
yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari
estetik.
Aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat
dengan
kedudukan manusia. Pergeseran itu terasa memberi maknawi
utuh
seperti tampak dari beberapa baris yang mencerminkan
kedudukan
benda-benda.
Contoh:
”Lalu
bapak menyusun dirinya kembali, dari body lotion, styling
foam, dan pil strong of night:
Indonesia Raya! Sumpah Pemuda!
Pembangunan!
Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga,
siih
. . . .” (Kisah Cinta
Tak Bersalah)
Afrisal
Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat massal
benda-benda
dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwaperistiwa
tertentu
dari interaksi massal. Estetik massal ini merupakan
penemuan
Afrizal yang unik dan menunjukkan bahwa sumber
keindahan
itu memang berada di tengah massa.
Selain
itu, estetik religiusitas dapat ditemukan pada karya Ahmadun
Yosi
Herfanda. Sajak-sajak tersebut mencerminkan nuansa religius yang
khusuk
dan teduh. Hubungan transendental antara umat dan khalik
dibina
dalam peleburan dan peluluhan yang menyatu secara imanen.
Pembaruan
dalam prosa terlihat pada pembaruan Seno Gumira
Ajidarma
yang tampak dari pilihan terhadap model sastra lisan yang
mengembalikan
realitas fiktif kepada realitas dongeng. Seno
memaparkan
sifat fiksional dalam tragedi yang diselubungi dunia
dongeng.
Tokoh-tokoh dibangun dari kenyataan sehari-hari tentang
orang
sehari-hari yang dijalin dari peristiwa sehari-hari. Meskipun
realitas
yang dibangun kadang surealistik dan absurd, tokoh-tokoh
itu
terasa realistis karena dibangun dari kenyataan-kenyataan faktual.
Wacana
bangunan kisah yang menggunakan pola dongeng
memperlihatkan
kuatnya unsur lisan guna membingkai ide-ide jenial
yang
menjadi muatan cerita. Dalam kumpulan cerpen Penembak
Misterius
(1993) ia memulai
cerpennya dengan pembukaan yang relatif
sama,
mirip awal dongeng kanak-kanak.
Contoh:
”Ceritakanlah
padaku tentang ketakutan” kata Alina pada juru
cerita
itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri:
Setiap
kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletak mayat
bertato.
Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali
mendengar
bunyi hujan mulai menitik di atas genting (”Bunyi Hujan
di
Atas Genting”).
M.
Shoim Anwar menulis kegetiran sosial secara lebih mengenaskan,
misalnya
yang dinyatakan lewat ”Pot dalam Otak Kepala Desa”
(1995).
Dengan narasi yang keras Shoim memperlihatkan perlawanan
yang
sia-sia meskipun kadang memunculkan konvensi hero, seperti
yang
dilakukan juga oleh Yanusa Nugroho dengan kisah-kisah dari
dunia
wayang dan dunia supranatural. Kelucuan, kekerasan, dan
absurditas
merupakan pilihan narasi fiksional angkatan ini dengan
geraian
ungkap metaforis dan alegoris. Dengan menekankan segi-segi
eksistensi,
Bre Redana melahirkan percikan romantik. Percikan itu
pada
karya Kurnia J.R. diberi tempat dari peristiwa-peristiwa kasar
yang
menandai adanya perbedaan hakiki antara derajat karakter dan
derajat
rohani setiap individu. Pada karya Agus Noor derajat itu lebih
dalam
memasuki kegilaan atau irasionalitas yang dibangun dari
peristiwa-peristiwa
sensasional. Dalam tataran yang lebih membumi
tampak
pada karya-karya Mona Sylviana, Nenden Lilis A., Arie MP
Tamba,
Jujur Prananto, Palti R. Tamba, Tanti R. Skober, dan lain-lain.
Segi
lain pembaruan angkatan ini adalah munculnya secara kuat arus
narasi
kehilangan. Dalam fiksi-fiksi Rainy Mp. Hutabarat kehilangan
itu
bersifat budaya yang tergerus modernisasi. Pada karya Radhar
Panca
Dahana kehilangan itu mencerminkan rusaknya masa silam
karena
faktor-faktor moral dan runtuhnya perikatan sosial. Pada karya
Joni
Ariadinata kehilangan itu bersifat dehumanisasi yang dilahirkan
oleh
kepelikan sosial. Hubungan kemanusiaan hanya terjalin dalam
tataran
badani dan kadang lebih rendah dari sifat hewani. Muncul
pertalian
naluriah yang memungkinkan kehidupan daging lebih
penting
dari kehidupan moral karena sebenarnya kemuliaan hanya
mampu
ditemukan di dalam segala yang kumuh.
Pembaruan
fiksional novel dilakukan oleh Ayu Utami dengan
novel Saman
(1998) yang mencirikan teknik-teknik khas sehingga
mampu
melahirkan wawasan estetik baru. Pembaruan itu tampak dari
pola
kolase yang meninggalkan berbagai warna yang dilahirkan oleh
tokoh
maupun peristiwa yang secara estetik menonjolkan kekuatankekuatan
literer.
Sifat kolase itu menempatkan segi-segi kompositoris
dengan
wacana gabungan fiksional esai dan puisi. Sebagai komposisi,
nada-nada
yang dibangun merujuk kepada irama yang diseleksi dari
kejadian
dan tokoh. Peristiwa melahirkan latar dan atmosfer yang
memberi
perkuatan pada kehadiran kisah. Cerita mempertalikan tokoh
dan
tokoh mencirikan kejadian dan karakter. Penggunaan tokoh
berhubungan
dengan sebutan yang disesuaikan dengan atmosfer
cerita,
sehingga sebutan itu kadang berganti-ganti antara akuan,
orang
kedua, atau narator. Dengan pola seperti itu, kebebasan tokoh
dan
pengarang sejajar untuk menemukan ruang-ruang estetik yang
pas.
Pada cuplikan berikut, tampak perubahan kedudukan tokoh
secara
drastis, yaitu perubahan dari orang ketiga tunggal (ia) kepada
orang
pertama tunggal (aku).
”Ia
terbangun dan merasa dirinya sebesar kepala. Hanya kepala
tanpa
badan. Dia tidak eksis di luar kepalanya. Tak ada jari-jari, tak
ada
jantung. Lindap. Warna malam ataukah aku berada dalam rahim?”
Komposisi
yang dibangun secara unik itu melahirkan perkaitan
plot
yang menautkan hubungan-hubungan simultan antartokoh.
Komposisi
memperkaya plot dan plot menghidupkan tokoh-tokoh di
dalam
aktivitas dan aksi keseharian. Tokoh-tokoh itu bereksistensi di
dalam
ruang latar yang spesifik karena dibangun oleh wacana yang
dinapasi
oleh kekuatan narasi dan dramatisasi yang elastis dan dinamik.
Plot
yang tidak linier dibangun dalam susunan yang saling mengisi
antara
arus realistik dengan stream of consciousness dan saling menunjang
penokohan
dan karakter tokoh. Lompatan-lompatan plot dan lompatanlompatan
peristiwa
menegaskan konsep persambungan dan gabungan
kronik-kronik
literer dan cerpen menjadi rangkaian fiksi novel yang
menunjukkan
bahwa novel merupakan imitasi autobiografi
pengalaman-pengalaman
kemanusiaan yang mendapatkan tafsiran
kreatif.
Meskipun menampilkan keliaran dan keterbukaan yang
memberi
ruang kemerdekaan sangat luas, fiksi ini sebenarnya
menggagas
dan menyodorkan realisme moral secara gembira. Belenggu,
Bumi
Manusia, dan afilus
menyajikan nuansa muram kehidupan
sehingga
wacananya membawa kengerian atau melankoli, Saman
menyodorkan
liberalisasi yang menempatkan ruang keriangan di
tengah
kesumpekan pergaulan hidup real sehari-hari.
Sumber:
Angkatan dalam Sastra Indonesia, Korrie
Layun
Rampan, 2000, Jakarta: Grasindo