Monday, April 9, 2012

naskah muhasabah mabit

Sang ibu terus mengelus-elus perutnya yang membesar, mengirimkan pesan cinta pada sang buah hati. Banyak kesakitan tak terungkap yang dirasanya. Kaki susah dibawa berdiri, apalagi berjalan. Mudah letih, sakit kepala, dan sangat perasa. Tidur berbaring serba sulit. Pekerjaan rumah tak berkurang dari semula.

Sang buah hati menendang-nendang, dan sang ibu tersenyum.

Dengan rasa sakit tak terungkap kata, dengan taruhan nyawanya, lahirlah sang buah hati ke dunia. Ibu tersenyum. Didekapnya sang anak, diciumi. Hilang semua rasa sakit dan keletihan yang luar biasa dalam sekejap.

Terima kasih ya Allah, telah Kau karuniakan aku anak yang mungil dan manis. Kembali ia peluk anaknya dengan penuh cinta.

Perawat mencoba mengambil sang anak. Sang anak menangis keras. Sang ibu cepat-cepat mengambil dan mendekapnya, ia pun diam. Sang anak akan terus diam dan damai dalam dekapan sang ibu dalam tahun-tahun awal kehidupannya. Ia merasakan kenyamanan dan kesejukan tak berhingga di sana. Ibu seperti sebuah pohon yang rindang teduh dikelilingi mata air yang sejuk dan jernih. Segala kemarau dunia ini takluk dalam dekapan sang bunda.

Darah yang selama ini mengalir dalam tubuhnya ia alirkan pada sang buah hati. Ia tertawa gembira ketika sang anak mengencingi tubuhnya. Ia tersenyum ketika sang anak buang air besar seenak hatinya. Ia bersihkan, dan ia pakaikan pakaian terbaik kepada anaknya.

Siang sang anak tidur dan malamnya ia bangun,menangis meraung sekuat tenaga. Malam dan seluruh makhluk penjaganya jadi saksi raungan sang anak. Sang ibu, siang bekerja mengurus keluarganya, malam ia habiskan mengurus sang buah hati tercinta. Keletihan seperti apa yang tak terasa. Tapi, ia begitu cinta pada anaknya.

Heningnya malam bergetar oleh senandung sang ibu meninabobokkan anaknya,
Tidurlah anak si buah hati
Obat letih pelerai demam
Cepatlah besar
Jadi orang berguna bagi agama, sesama

Tiba-tiba sang anak sakit.  Sang ibu panik dan sangat sedih. Air mata senantiasa menggenang di pelupuk matanya.  Tak bisakah sakit anaknya itu ia yang menggantikannya. Sang anak rewel luar biasa. Tak henti-henti menangis. Sang ibu tak lepas-lepas menggendongnya. Terbengkalai kebanyakan dari pekerjaannya. Siang malam ia terus tunggui sang anak tercinta, tak mau jauh dari sisinya. Terus ia berdoa pada Allah agar sang anak disembuhkan dan diberi panjang umur. Jangan kau ambil buah hatiku, ya Allah…. Bisik hatinya dengan gemetar dan pilu.

********
Sang anak  tumbuh besar jadi remaja, gagah, cantik.

*

“Ibu, aku mau sepatu yang bagus seperti punya temanku.”
“Ibu tidak sanggup membelikannya, Nak. Pakai sajalah sepatumu, itukan masih bagus dan belum lama dibeli.”
“Ibu bohong. Pokoknya aku mau yang itu,” kata sang anak sambil membalikkan tubuh dan wajahnya dengan ketus dan kasar. Ia tinggalkan sang ibu dengan menghentakkan kakinya ke bumi, wajahnya  kesal dan marah.

Sang ibu diam terpaku.

Mulut yang dahulu ia beri minum dari air susunya. Mulut yang dahulu  ia suapi dengan lembut. Mulut yang dahulu tangisannya membuat ia resah dan cepat datang memeluknya. Mulut itu sekarang menuduhnya pembohong.

Wajah yang dahulu ia selalu cium. Wajah yang selalu ia hapus air matanya. Wajah yang dahulu ia usahakan selalu tersenyum. Wajah itu hari ini  penuh kekesalan dan kebencian padanya.

Sesungguhnya Allah Mahatahu bahwa semenjak sang anak mulai besar, remaja, hati sang ibu telah hancur, harapannya seakan musnah. Ia seakan tak percaya, bagaimana sang buah hati yang manis dan lucu, yang menggemaskan, ia sayang sepenuh hati, kini…
Tiada hari tanpa hatinya terluka oleh mulut yang tajam.
Hatinya teriris oleh pandangan yang sinis dan menyalahkan.
Dan kata-katanya seperti angin lalu, tak diacuhkan.


Ya Allah, bukankah telah kuberikan segala cinta kepada anakku.
Bukankah aku telah rela menyerahkan hidupku asal anakku panjang usia.
Biar kutanggungkan seluruh kepahitan dunia ini untuk seulas senyum di bibirnya.
Bukankah aku telah membanting tulang, tak kenal lelah mencarikan kebutuhan dirinya.
Apalagi yang harus aku lakukan.

Mengapa ini balasannya…
Kemarahan, kekesalan, caci maki. Ia begitu  sinis dan merendahkanku.
“Perempuan tua,” begitu katanya.




Sang anak tak peduli. Ia terus durhaka. Ia penuhi  hidupnya dengan hura-hura, maksiat. Ia coreng malu di kening orang tuanya.  Tak satupun nasihat sang ibu yang ia dengarkan. Ia bantah sang ibu dengan segala kehebatan yang ia dapat dengan kepintarannya, katanya. Ia rendahkan ibunya sebagai seorang tua bodoh yang tak tahu perkembangan zaman.

Katika sang ibu sakit, tak ia peduli sedikit pun.  Jangankan ia tunggui, menengoknya saja ia enggan. Alangkah luar biasa kemarahan dan kebenciannya ketika sang ibu tak memberi apa yang ia minta.  Mau rasanya ia  menghancurkan rumah yang dahulu ia dibesarkan di sana. Ia lalu pergi tak pulang-pulang menghilangkan sakit hati, meninggalkan sang ibu dalam kecemasan.

**

Sang ibu telah ringkih, renta. Mata telah kabur, badan telah lemah dan sakit-sakitan.  Sang anak telah dewasa dan punya banyak uang.

Dan alangkah angkuhnya sang anak. Ia memandang rendah pada ibu yang menompang hidup kepadanya.  Alangkah senang hatinya bila sang ibu cepat mati dan tak lagi membebaninya. Tak pernah sekalipun lagi ia mencium tangan ibunya. Bahkan tak hendak hatinya untuk menyapa perempuan tua yang dahulu ia selalu tertidur damai dalam pelukannya.

Alangkah durhaka dirimu sang anak. Alangkah celaka dirimu.  Neraka adalah tempat tinggalmu,

Perempuan tua itulah yang dahulu mengganti tiap tangisanmu dengan senyum kegembiraan.
Perempuan tua itulah yang dahulu selalu setia menemanimu kapan saja dalam kesedihan, mendekapmu dengan cinta seluas samudra, cinta setinggi himalaya.
Perempuan tua itulah yang menangis untuk tiap derita yang menyapamu
Perempuan itulah yang dahulu hingga hari ini membasahi mulutnya dengan doa-doa untuk kebahagiaanmu.
Perempuan tua itulah  yang telah mengambil pilihan ketika ia diberi pilihan apakah ia yang hidup atau anaknya, maka ia memilih memberikan hidupnya.


Andai Allah memang mengambil hidupnya ketika itu, ketika si buah hati yang mungil itu mencintainya dan ia pun sangat cinta kepadanya. Ketika mereka saling mencintai. Alangkah ia berbahagia.

Sang ibu terus menjalani hidupnya dalam siksaan tak berujung dari si anak, anak yang tahu membalas budi. Air susu dibalas air tuba.

Akhirnya ia bisa berbahagia. Ketika, kematian datang dan menjemputnya, ketika kematian datang memisahkan ia dari sang anak, anak durhaka.


Anak-anak yang durhaka:
·         Tiada hari tanpa ia menyakiti hati orang tuanya.
·         Ia permalukan orang tuanya dengan ulahnya.
·         Kata-kata tajam mengiris hati
·         Wajah ketus penuh kekesalan
·         Terus-terus meminta apa yang ia inginkan, tanpa peduli dengan kemampuan orang tuanya
·         Menjawab apa saja kata orang tuanya
·         Tak satu pun nasihat orang tua yang ia pedulikan
·         Ia terus berbuat dosa dan maksiat, sehingga hancur nama baik orang tuanya. Sehingga, bukan hanya manusia yang murka kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya, Allah Yang Mahapencipta pun murka kepada orang tuanya. Di hari kiamat sang orang tua ikut dibelenggu bersama sang anak yang penuh dosa.