Wednesday, April 25, 2012

Periodisasi Sastra Indonesia


                Periodisasi Sastra Indonesia
       Kesastraan di Indonesia dibagi dalam beberapa periode. Salah satu
sastrawan yang membuat periodisasi sastra adalah Rachmat Djoko
Pradopo. Periodisasi sastra yang dibuatnya seperti berikut.

1. Periode Angkatan Balai Pustaka (1920)
       Jenis sastra yang dihasilkan pada periode ini sebagian besar adalah
roman. Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang berupa
syair dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut umumnya
disisipkan dalam roman untuk memberi nasihat kepada pembaca.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan Balai Pustaka.
a. Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah,
dan peribahasa.
Contoh:
. . . .
Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak dapat
ditolak, mujur tak dapat diraih? Bukankah setahun telah engkau
ketahui untungku, karena engkau telah mendapat mimpi tentang
nasibku itu?
. . . .
                                          Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
                                           Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dalam kutipan di atas tampak bahwa novel Siti Nurbaya menggunakan
gaya bahasa yang mengandung pepatah.
b. Alur yang digunakan sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga
yang mempergunakan alur sorot balik, misalnya Azab dan Sengsara
dan Di Bawah Lindungan Ka bah.
c. Teknik penokohan dan perwatakannya menggunakan analisis
langsung.
Contoh:
. . . .
Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka; anak muda
ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi
jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena
kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam
sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata
kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula. Hidungnya
mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak gemuk dan
tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang jernih dan tenang,
berbayang, bahwa ia seorang yang lurus, tetapi keras hati; tak mudah
dibantah, barang sesuatu maksudnya. Menilik pakaian dan rumah
sekolahnya, nyata ia anak seorang yang mampu dan tertib sopannya
menyatakan ia anak seorang yang berbangsa tinggi.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dalam kutipan di atas bentuk fisik Samsulbahri digambarkan
secara langsung.
d. Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode
orang ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode
orang pertama, misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan
Ka bah.
Contoh:
. . . .
Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan
sehari dua bekerja pada ayahmu.
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
e. Banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan
dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair, dan
pantun nasihat.

Contoh sisipan pantun:
. . . .
Ke rimba berburu kera,
dapatlah anak kambing jantan.
Sudah nasib apakah daya,
demikian sudah permintaan badan.
. . . .
                       Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
                       Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
f. Bersifat didaktis. Sifat ini berpengaruh sekali pada gaya penceritaan
dan struktur penceritaannya. Semuanya ditujukan kepada
pembaca untuk memberi nasihat.
Contoh:
. . . .
Ketahuilah olehmu, Samsul, walaupun di dalam dunia ini dapat
kita memperoleh kesenangan, kekayaan, dan kemuliaan, akan tetapi
dunia ini adalah mengandung pula segala kesusahan, kesengsaraan,
kemiskinan, dan kehinaan yang bermacam-macam rupa bangunnya
tersembunyi pada segala tempat, mengintip kurbannya setiap
waktu, siap menerkam, barang yang dekat kepadanya.
. . . .
                  Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
                  Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Isi kutipan di atas memberi nasihat kepada Samsulbahri dan
pembaca untuk berhati-hati dalam hidup.
g. Bercorak romantis (melarikan diri) dari masalah kehidupan seharihari
yang menekan.
Contoh:
. . . .
Aku masuk jadi bala tentara ini bukan karena apa, hanya
karena hendak . . .” di situ terhenti Letnan Mas bercakap-cakap
sebagai tak dapat ia mengeluarkan perkataannya . . . ” mencari
kematian.”
”Apa katamu?” tanya Van Sta dengan takjub.
”Mencari kematian, kataku,” jawab Mas dengan sedih. Tetapi
sekarang belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya benar kata
pepatah Melayu: sebelum ajal, berpantang mati.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Letnan Mas atau
Samsulbahri berusaha bunuh diri untuk lari dari masalah yang
dihadapinya.
h. Permasalahan adat, terutama masalah adat kawin paksa,
permaduan, dan sebagainya.
Contoh:
. . . .
”Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak
lain hanyalah Rapiah, anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa
dengan ibu hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan
sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau memulangi Rapiah.
Pertama, adalah menurut sepanjang adat, bila engkau memulangi
anak mamakmu. Kedua, rupa Rapiah pun dikatakan tidak buruk.
Ketiga, sekolahnya cukup, tamat HIS. Keempat, ia diasuh baikbaik
oleh orang tuanya. Lepas dari sekolah ia dipingit, lalu diajar
ke dapur, menjahit, dan merenda. Kelima perangainya baik, hati
tulus, dan sabar. Keenam – ah, banyak lagi kebaikannya, Hanafi.
. . . .
Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai
Pustaka, Jakarta, 1987
Dari kutipan di atas diketahui masalah kawin paksa yang harus
dilakukan oleh tokoh Hanafi.
i. Pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum
tua mempertahankan adat lama, sedangkan kaum muda menghendaki
kemajuan menurut paham kehidupan modern.
Contoh:
. . . .
”Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,”
demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani
di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya.
”Di rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur
lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku
orang Belanda saja.”
”Penat pinggangku duduk di kursi dan berasa pirai kakiku
duduk berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. ”Kesenangan ibu hanyalah
duduk di bawah, sebab semenjak ingatku duduk di bawah saja.”
”Itu salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka
menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan
duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau
bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu . . . brrrr!”
. . . .
Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai
Pustaka, Jakarta, 1987
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa antara tokoh Hanafi
dan ibunya terjadi pertentangan paham mengenai letak perabotan
yang ada di rumahnya.
j. Latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan
daerah. Misalnya, novel Sitti Nurbaya memiliki latar tempat di
daerah Padang.
k. Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman
antah-berantah.
l. Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih
bersifat kedaerahan.
Contoh:
. . . .
”Uang belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malelo
dengan senyum merengut. ”Ada-ada saja kompeni itu, untuk
mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu?”
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa masalah yang terjadi
masih bersifat kedaerahan saja. Masalah tersebut tentang uang
belasting yang terjadi di Padang.


2. Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)
Pada periode Pujangga Baru jenis sastra yang dihasilkan sebagian besar
puisi. Selain itu, karya sastra berjenis cerita pendek dan drama sudah
mulai ditulis.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Pujangga Baru.
Puisi
a. Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
b. Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
c. Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
d. Hubungan antarkalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang
ambigu.
e. Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan
tenteram.
f. Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.
Contoh:
Padamu Jua
. . . .
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . . .
Dikutip dari: Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah, Dian Rakyat,
Jakarta, 1985
Dari puisi ”Padamu Jua” dapat diketahui bahwa puisi angkatan
ini bukan termasuk pantun atau syair lagi. Pilihan kata-katanya
sangat indah dan diwujudkan dalam rima yang sesuai. Puisi
”Padamu Jua” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada
sang kekasih. Dalam puisi ”Padamu Jua” terdapat bahasa kias yang
berupa perbandingan, seperti serupa dara di balik tirai.
Pada puisi ”Padamu Jua” masih mempertahankan persajakan.
Persajakan ini dapat dilihat pada setiap baitnya.
Contoh:
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . .

Prosa
a. Alurnya lurus.
b. Teknik perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung.
Deskripsi fisik sudah sedikit.
Contoh:
. . . .
”Aduh, indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil
ditariknya tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah
bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi
di celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya,
sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan
melihat menurut arah telunjuk Maria, ia pun berkata, ”Ya, bagus.”
Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan tersebut dapat diketahui watak Maria yang mudah
memuji dan watak Tuti yang tidak mudah kagum atau memuji.
Watak Maria dan Tuti dapat dilihat dari percakapan antara Maria
dan Tuti.
c. Tidak banyak sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat.
d. Pusat pengisahannya menggunakan metode orang ketiga.
e. Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan,
pepatah, dan peribahasa.
f. Masalah yang diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat
kota, misalnya masalah emansipasi, pemilihan pekerjaan, dan
masalah individu manusia.
Contoh:
. . . .
Dalam sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti
membelah. ”Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang
terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian
besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya
kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang.
Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita-cita
yang demikian semata-mata berarti berunding tentang anganangan
dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis
sedikit jua pun.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa salah satu masalah
yang ditampilkan adalah masalah emansipasi wanita.
g. Bersifat didaktis.

3. Periode Angkatan 45 (1940)
Pada periode ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi, cerpen, novel,
dan drama.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 45.
Puisi
a. Puisi bebas, tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan
persajakan (rima).
b. Pilihan kata atau diksi mempergunakan kosakata bahasa seharihari.
c. Menggunakan kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat ambigu
menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir.
d. Mengekspresikan kehidupan batin atau kejiwaan manusia melalui
peneropongan batin sendiri.
e. Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme
universal). Misalnya, tentang kesengsaraan hidup, hak-hak asasi
manusia, masalah kemasyarakatan, dan kepincangan dalam
masyarakat, seperti gambaran perbedaan mencolok antara
golongan kaya dan miskin.
f. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
Contoh:
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar, Maret 1943
Puisi ”Aku” tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan
persajakan. Pada bait pertama terdiri atas tiga baris. Pada bait kedua
terdiri atas satu baris. Pada bait ketiga terdiri atas dua baris. Puisi
”Aku” mengekspresikan langsung perasaan penyair. Diksi atau
pilihan kata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari.
Dalam puisi ”Aku” terdapat kalimat-kalimat ambigu yang
menyebabkan banyak tafsiran seperti kalimat Aku mau hidup seribu
tahun lagi yang berarti penyair benar-benar ingin hidup sampai
seribu tahun lagi atau penyair ingin gagasan dan semangatnya
diteruskan dari generasi ke generasi walaupun penyair telah
meninggal.
Hubungan baris dan kalimat pada puisi ”Aku” tidak terlihat,
karena tiap-tiap kalimat pada puisi ”Aku” seperti berdiri sendiri.
Misalnya, pada bait 1 dan 2 secara kosakata tidak berhubungan.
Namun, secara makna bait 1 dan 2 berhubungan.
Puisi ”Aku” mengekspresikan kehidupan batin manusia yang
tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk hidup bebas.
Masalah yang diungkapkan adalah masalah hak asasi manusia
untuk bebas dan berpegang teguh pada prinsipnya. Filsafat
eksistensialisme mulai tampak dalam puisi ”Aku”. Dalam puisi
”Aku” penyair mulai menghargai keberadaannya meskipun
dalam keadaan yang terasing dan tersiksa.

Prosa
a. Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus.
b. Sisipan-sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat.
c. Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang
ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis
langsung, melainkan dengan cara dramatik.
d. Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya
kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangan-kepincangan
dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi
manusia oleh manusia.
Contoh:
. . . .
Banyak yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur
dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan
yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada
warung yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang
sudah dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya dipajak gadai.
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan tersebut dapat diketahui masalah yang dikemukakan
adalah masalah kemiskinan yang dihadapi tokoh utamanya (Guru
Isa).
e. Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal. Misalnya,
masalah kesengsaraan karena perang, tidak adanya perikemanusiaan
dalam perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutanketakutan
manusia, impian perdamaian, dan ketenteraman hidup.
Contoh:
. . . .
Isa berdiri terengah-engah karena sudah tidak biasa berlari
lagi. Gadis-gadis Palang Merah itu hendak kembali mengambil
orang Tionghoa yang luka, tetapi orang-orang menahan.
”Jangan,” kata mereka, ”ubel-ubel itu tidak peduli Palang
Merah.”
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan tersebut dapat dilihat tidak adanya perikemanusiaan
dalam perang. Bahkan, untuk menolong orang yang terluka saja
tentara-tentara tetap menembaki anggota Palang Merah.
f. Mengemukakan pandangan hidup dan pikiran-pikiran pribadi
untuk memecahkan sesuatu masalah.
Contoh:
. . . .
Guru Isa merasa perubahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan
pada tubuhnya tidak menakutkan lagi. . . . orang harus belajar
hidup dengan ketakutan-ketakutannya . . . . Sekarang dia tahu
. . . . Tiap orang punya ketakutannya sendiri dan mesti belajar
hidup dan mengalahkan ketakutannya.”
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Guru Isa mengemukakan
pikirannya untuk mengatasi rasa takut dan ia berhasil.
g. Latar cerita pada umumnya latar peperangan, terutama perang
kemerdekaan melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang
menentang Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Contoh:
. . . .
Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa memecah kesunyian
pagi, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah
Abang. Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa waswas tentang
keselamatan istri dan anaknya.
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Latar kutipan novel Jalan Tak Ada jung menunjukkan latar
suasana mencekam karena masih dalam suasana peperangan.

4. Periode Angkatan 50 (1950)
Sesungguhnya ciri-ciri karya sastra Angkatan 45 dan Angkatan 50
sukar dibedakan. Angkatan 45 diteruskan oleh Angkatan 50.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 50.
Puisi
a. Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi
cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana.
Misalnya:
Puisi-puisi karya Rendra, seperti ”Balada Terbunuhnya Atmo
Karpo”, ”Blues untuk Bonnie”, atau ”Nyanyian Angsa”.
b. Gaya ulangan mulai berkembang.
c. Ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup
yang penuh penderitaan.
d. Mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti, kemiskinan,
pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya
pemerataan hidup.
Contoh:
Blues untuk Bonnie
Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek.
Dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
. . . .
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
lalu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
. . . .
Dikutip dari: Blues untuk Bonnie, Rendra, Pustaka Jaya, Jakarta, 1976
Puisi ”Blues untuk Bonnie” berbentuk balada. Dari kutipan di atas
dapat dilihat adanya gaya ulangan, seperti pada baris kelima. Pada
baris kelima tersebut kata eorgia diulang.
Puisi ”Blues untuk Bonnie” menggambarkan suasana muram dan
penderitaan kaum Negro yang tinggal di gubug-gubug yang
bocor.
Masalah yang diungkapkan dalam kutipan puisi di atas adalah
masalah kemiskinan yang dihadapi oleh seorang penyanyi
Negro tua.
Prosa
a. Tidak terdapat sisipan cerita sehingga alurnya padat.
b. Cerita perang mulai berkurang.
c. Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari.
d. Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap.
e. Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.

5. Periode Angkatan 1970
Dalam periode ini mulai berkembang sastra pop dan novel pop.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Angkatan 1970.
Puisi
a. Mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa frasa.
b. Mempergunakan teknik pengungkapan ide secara sederhana,
dengan kalimat-kalimat biasa atau sederhana.
c. Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
d. Menuntut hak-hak asasi manusia misalnya: kebebasan, hidup
merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak,
dan bebas dari pencemaran kehidupan modern.
e. Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap
kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan.
Contoh:
Solitude
Oleh: Sutardji Calzoum Bachri
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling
kau!
Sumber: Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo, Gramedia, Jakarta, 2002
Pada puisi ”Solitude” kata yang paling diulang-ulang. Puisi ”Solitude”
menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sederhana. Puisi
”Solitude” menunjukkan kesepian hati penyair. Penyair merasa bahwa
Tuhanlah segala-galanya dan ditunjukkan dengan kalimat:
samping yang paling
Kau!
Kata Kau! pada puisi ”Solitude” mengacu kepada Tuhan.
Prosa
a. Alur berbelit-belit.
b. Pusat pengisahan bermetode orang ketiga.
Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”
. . . .
Dikutip dari: iarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa novel iarah menggunakan
sudut pandang orang ketiga. Penulis menyebut tokoh
utama dengan sebutan ”dia”.
c. Mengeksploitasi kehidupan manusia sebagai individu, bukan
sebagai makhluk komunal.
Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”
. . . .
Dikutip dari: iarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa penulis hanya mengeksploitasi
manusia sebagai makhluk individu yang hanya
menghargai keberadaan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari
kalimat pada dirinya sendiri.
d. Mengemukakan kehidupan yang tidak jelas.
e. Mengedepankan warna lokal (subkultur), latar belakang
kebudayaan lokal.
f. Mengemukakan tuntutan atas hak-hak asasi manusia untuk bebas
dari kesewenang-wenangan, baik yang dilakukan oleh anggota
masyarakat lain atau oleh pihak-pihak yang berkuasa.
Sumber: Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
Rachmat Djoko Pradopo, 1995, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

6. Periode Angkatan 2000
Pada dasarnya, terbentuknya sebuah angkatan sastra harus
memenuhi dua syarat. Pertama, adanya sekelompok sastrawan yang
menjadi pendukung angkatan sastra tersebut. Kedua, adanya karya
sastra yang inovatif, spesifik, kreatif, inspiratif, dan mengandung
pergeseran pemikiran dengan cara mengungkapkan pemikiranpemikiran
baru dan pendirian-pendirian baru dengan bentuk yang
berbeda dari angkatan sebelumnya sehingga melahirkan wawasan
estetik yang baru.
Perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir adalah
keberagaman gaya dan tema sebagai ciri khas Angkatan 2000. Ciriciri
yang lain adanya pembaruan estetik, muatan tematik, karakter
yang spesifik. Secara umum ”Sastra Angkatan 2000” menampakkan
makna yang sangat berharga sebagai sumbangan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai bukti bahwa sastra Indonesia dinamik dan terus
berkembang dan konsisten membela hak-hak masyarakat meskipun
ditekan oleh kebijakan penguasa yang hampir tidak mendukung
kehidupan berkesusastraan yang kondusif.
Dalam mainstream perpuisian angkatan ini, puncak pencapaian
secara monolit terdapat dalam bahasa dan pengucapan Afrizal Malna.
Sebagai pemimpin literer puisi dan pemikiran sastra angkatan ini,
Afrizal melahirkan pembaruan yang merupakan wujud wawasan
estetik Angkatan 2000. Pergeseran wawasan estetik ditandai
berubahnya struktur larik dan bait. Larik pada Afrizal Malna bersifat
netral karena puisi Afrizal sebenarnya tersusun dalam bait yang
sesungguhnya nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak
dapat dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah.
Larik sama fungsi dan kedudukannya dengan bait karena larik tersebut
merupakan bait. Dengan revolusi tipografi tersebut, Afrizal mengubah
arus dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga
akhir bait ke arah komunikasi kata per kata di dalam sajak.
Pembaruan juga terdapat pada pilihan dan kedudukan kata yang
membawa pergeseran pada penempatan lirikus dari ”aku lirik” kepada
”benda-benda”. Afrizal Malna menggeser peran aku lirik kepada
benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari
estetik. Aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat
dengan kedudukan manusia. Pergeseran itu terasa memberi maknawi
utuh seperti tampak dari beberapa baris yang mencerminkan
kedudukan benda-benda.
Contoh:
”Lalu bapak menyusun dirinya kembali, dari body lotion, styling
foam, dan pil strong of night: Indonesia Raya! Sumpah Pemuda!
Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga,
siih . . . .” (Kisah Cinta Tak Bersalah)
Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat massal
benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwaperistiwa
tertentu dari interaksi massal. Estetik massal ini merupakan
penemuan Afrizal yang unik dan menunjukkan bahwa sumber
keindahan itu memang berada di tengah massa.
Selain itu, estetik religiusitas dapat ditemukan pada karya Ahmadun
Yosi Herfanda. Sajak-sajak tersebut mencerminkan nuansa religius yang
khusuk dan teduh. Hubungan transendental antara umat dan khalik
dibina dalam peleburan dan peluluhan yang menyatu secara imanen.
Pembaruan dalam prosa terlihat pada pembaruan Seno Gumira
Ajidarma yang tampak dari pilihan terhadap model sastra lisan yang
mengembalikan realitas fiktif kepada realitas dongeng. Seno
memaparkan sifat fiksional dalam tragedi yang diselubungi dunia
dongeng. Tokoh-tokoh dibangun dari kenyataan sehari-hari tentang
orang sehari-hari yang dijalin dari peristiwa sehari-hari. Meskipun
realitas yang dibangun kadang surealistik dan absurd, tokoh-tokoh
itu terasa realistis karena dibangun dari kenyataan-kenyataan faktual.
Wacana bangunan kisah yang menggunakan pola dongeng
memperlihatkan kuatnya unsur lisan guna membingkai ide-ide jenial
yang menjadi muatan cerita. Dalam kumpulan cerpen Penembak
Misterius (1993) ia memulai cerpennya dengan pembukaan yang relatif
sama, mirip awal dongeng kanak-kanak.
Contoh:
”Ceritakanlah padaku tentang ketakutan” kata Alina pada juru
cerita itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri:
Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletak mayat
bertato. Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali
mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting (”Bunyi Hujan
di Atas Genting”).
M. Shoim Anwar menulis kegetiran sosial secara lebih mengenaskan,
misalnya yang dinyatakan lewat ”Pot dalam Otak Kepala Desa”
(1995). Dengan narasi yang keras Shoim memperlihatkan perlawanan
yang sia-sia meskipun kadang memunculkan konvensi hero, seperti
yang dilakukan juga oleh Yanusa Nugroho dengan kisah-kisah dari
dunia wayang dan dunia supranatural. Kelucuan, kekerasan, dan
absurditas merupakan pilihan narasi fiksional angkatan ini dengan
geraian ungkap metaforis dan alegoris. Dengan menekankan segi-segi
eksistensi, Bre Redana melahirkan percikan romantik. Percikan itu
pada karya Kurnia J.R. diberi tempat dari peristiwa-peristiwa kasar
yang menandai adanya perbedaan hakiki antara derajat karakter dan
derajat rohani setiap individu. Pada karya Agus Noor derajat itu lebih
dalam memasuki kegilaan atau irasionalitas yang dibangun dari
peristiwa-peristiwa sensasional. Dalam tataran yang lebih membumi
tampak pada karya-karya Mona Sylviana, Nenden Lilis A., Arie MP
Tamba, Jujur Prananto, Palti R. Tamba, Tanti R. Skober, dan lain-lain.
Segi lain pembaruan angkatan ini adalah munculnya secara kuat arus
narasi kehilangan. Dalam fiksi-fiksi Rainy Mp. Hutabarat kehilangan
itu bersifat budaya yang tergerus modernisasi. Pada karya Radhar
Panca Dahana kehilangan itu mencerminkan rusaknya masa silam
karena faktor-faktor moral dan runtuhnya perikatan sosial. Pada karya
Joni Ariadinata kehilangan itu bersifat dehumanisasi yang dilahirkan
oleh kepelikan sosial. Hubungan kemanusiaan hanya terjalin dalam
tataran badani dan kadang lebih rendah dari sifat hewani. Muncul
pertalian naluriah yang memungkinkan kehidupan daging lebih
penting dari kehidupan moral karena sebenarnya kemuliaan hanya
mampu ditemukan di dalam segala yang kumuh.
Pembaruan fiksional novel dilakukan oleh Ayu Utami dengan
novel Saman (1998) yang mencirikan teknik-teknik khas sehingga
mampu melahirkan wawasan estetik baru. Pembaruan itu tampak dari
pola kolase yang meninggalkan berbagai warna yang dilahirkan oleh
tokoh maupun peristiwa yang secara estetik menonjolkan kekuatankekuatan
literer. Sifat kolase itu menempatkan segi-segi kompositoris
dengan wacana gabungan fiksional esai dan puisi. Sebagai komposisi,
nada-nada yang dibangun merujuk kepada irama yang diseleksi dari
kejadian dan tokoh. Peristiwa melahirkan latar dan atmosfer yang
memberi perkuatan pada kehadiran kisah. Cerita mempertalikan tokoh
dan tokoh mencirikan kejadian dan karakter. Penggunaan tokoh
berhubungan dengan sebutan yang disesuaikan dengan atmosfer
cerita, sehingga sebutan itu kadang berganti-ganti antara akuan,
orang kedua, atau narator. Dengan pola seperti itu, kebebasan tokoh
dan pengarang sejajar untuk menemukan ruang-ruang estetik yang
pas. Pada cuplikan berikut, tampak perubahan kedudukan tokoh
secara drastis, yaitu perubahan dari orang ketiga tunggal (ia) kepada
orang pertama tunggal (aku).
”Ia terbangun dan merasa dirinya sebesar kepala. Hanya kepala
tanpa badan. Dia tidak eksis di luar kepalanya. Tak ada jari-jari, tak
ada jantung. Lindap. Warna malam ataukah aku berada dalam rahim?”
Komposisi yang dibangun secara unik itu melahirkan perkaitan
plot yang menautkan hubungan-hubungan simultan antartokoh.
Komposisi memperkaya plot dan plot menghidupkan tokoh-tokoh di
dalam aktivitas dan aksi keseharian. Tokoh-tokoh itu bereksistensi di
dalam ruang latar yang spesifik karena dibangun oleh wacana yang
dinapasi oleh kekuatan narasi dan dramatisasi yang elastis dan dinamik.
Plot yang tidak linier dibangun dalam susunan yang saling mengisi
antara arus realistik dengan stream of consciousness dan saling menunjang
penokohan dan karakter tokoh. Lompatan-lompatan plot dan lompatanlompatan
peristiwa menegaskan konsep persambungan dan gabungan
kronik-kronik literer dan cerpen menjadi rangkaian fiksi novel yang
menunjukkan bahwa novel merupakan imitasi autobiografi
pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang mendapatkan tafsiran
kreatif. Meskipun menampilkan keliaran dan keterbukaan yang
memberi ruang kemerdekaan sangat luas, fiksi ini sebenarnya
menggagas dan menyodorkan realisme moral secara gembira. Belenggu,
Bumi Manusia, dan afilus menyajikan nuansa muram kehidupan
sehingga wacananya membawa kengerian atau melankoli, Saman
menyodorkan liberalisasi yang menempatkan ruang keriangan di
tengah kesumpekan pergaulan hidup real sehari-hari.
Sumber: Angkatan dalam Sastra Indonesia, Korrie
Layun Rampan, 2000, Jakarta: Grasindo