Friday, June 1, 2012

Proses Kreatif Menulis Cerpen


Proses Kreatif Cerpenis Kurnia Effendi dalam Menulis Cerpen

Mengapa Anda menulis cerpen?
Karena cerpen adalah prosa sehingga lebih bebas dari puisi. Tetapi saya juga menulis puisi. Oleh karena cerpen sebagai prosa lebih bebas, saya sangat memanfaatkannya. Misalnya, dengan jumlah halaman yang bebas, sangat pendek (400 kata, yaitu cerpen "Mengapa Hiuma Berduka?") atau sangat panjang (33 halaman, cerpen "Alyesha Tak Mau Tidur"). Lalu saya juga membuat cerpen-cerpen yang merupakan bagian dari novel, baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis berdua dengan Iksaka Banu ("Arah Angin", "Romansa Braga", "Studio", dan akan menyusul judul-judul lain). Saya juga menulis cerpen menjadi semacam komposisi ("Air", "Api", "Angin", dan "Tanah"). Saya juga menulis cerpen eksperimen. Dengan cerpen saya bisa memadukan
antara fakta dan iksi, dan dengan cerpen saya dapat memberikan 'pertanyaan' atau 'kegelisahan' baru kepada pembaca, juga kepada diri sendiri.

Anda makin produktif, ya dalam menulis cerpen?
Saya tidak setuju. Cerpenis dan penyair paling produktif saat ini adalah Isbedy Stiawan. Lihat di setiap minggunya, merambah tak hanya koran Jakarta, tetapi juga koran Sumatra. Saya juga (hendak) tidak setuju jika saat ini menjadi puncak produktivitas saya. Mungkin belum. Karena masih banyak rencana yang tercecer oleh libasan waktu dan kesibukan pekerjaan kantor. Mudah-mudahan puncak produktivitas itu adalah tahun depan, dan saya akan terus mengatakan 'tahun depan'setiap tahun.

Apa setiap hari Anda menulis cerpen?
Setiap hari menulis cerpen? Maunya begitu.  Tapi sebagai manusia yang setelah saya teliti tak memiliki program robotik di kepala, ternyata tak sepenuhnya bisa. Meskipun demikian, saya mencoba disiplin, setiap malam membuka komputer, membuka ile yang masih setengah jalan, mengetik satu dua kalimat, atau menyelesaikan akhir cerita, atau mengedit yang sudah jadi. Mungkin saja satu cerpen jadi dalam satu hari.

Bagaimanakah tips Anda dalam menghadapi soal rasa 'jenuh'?
Setiap pengarang tentu pernah mengalami masa jenuh. Contohnya Eka Kurniawan, setiap menyelesaikan penerbitan sebuah buku, yang proses editingnya memakan waktu, selalu kosong untuk kembali menulis dalam beberapa minggu. Saya pun kerap merasa buntu. Untuk mengatasi hal seperti itu, saya mencari kegiatan lain, yaitu melakukan tarveling, melihat pameran lukisan, nonton film-film yang menggugah imajinasi. Tapi, yang paling sering saya lakukan adalah menemui teman-teman sastrawan. Dengan ngobrol bersama mereka, biasanya lantas ada gagasan-gagasan yang gemerlapan di langit kreatif saya.

Ceritakan sedikit cara Anda menulis cerpen?
Contoh cerpen yang lama pengerjaannya, banyak. Sulit untuk memberikan contoh yang tepat, karena kadang-kadang menulis lama itu juga saya buat sendiri. Saya selalu menyimpan sekitar sepuluh judul dalam disket, lama sebentarnya tulisan itu kan tergantung dari frekuensi saya membuka ile. Tapi, dalam menulis cerpen yang mengandung latar sejarah memang prosesnya lama dan tentu harus lebih teliti dibanding cerpen-cerpen biasa.

Pernahkah Anda  menulis cerpen dalam waktu yang singkat?
Cerpen tersingkat seingat saya adalah: "Air", "Api", "Angin", dan "Tanah". Saya lupa persisnya, mungkin hampir 2 jam (saya tulis dalam akurasi menit awal dan akhirnya di pengujung cerpen), yang dimuat di Jurnal Prosa vol. 2 tahun 2002. Memang seperti ada tangan gaib yang mengendalikan, dan otak saya begitu cair. Sekali duduk di depan komputer, selesai sudah. Cerpen yang saya tulis cepat biasanya berkaitan dengan tenggat waktu (deadline). Lain halnya dengan cerpen "Roti Tawar" dan "Juru Rias dan Seorang Pesolek" (keduanya dimuat Kompas dalam rentang 3 minggu), keduanya itu saya tulis dalam sehari.

Bagaimanakah soal ide cerita cerpen Anda?
Ide cerpen saya peroleh dari banyak hal. Setiap lintasan gagasan selalu saya 'simpan' dalam bentuk judul. Itulah cara saya agar tak lupa. Cara kedua adalah menceritakan gagasan itu kepada teman yang sedang berada di dekat saya. Jika saya lupa,
saya tinggal tanya kepadanya. Suatu malam, saya makan bertiga dengan Amorita dan Andy fuller, lalu saya ceritakan keinginan saya menulis seorang tokoh patah hati yang perilakunya nyaris di luar nalar. Jika nanti saya lupa alurnya, saya akan tanya kepada mereka. Setiap perjalanan juga menumbuhkan semacam benih cerita. Beberapa perjalanan tugas saya ke Surabaya, sempat terurai menjadi "Abu Jenazah Ayah", tokoh-tokoh di dalamnya nyata, tetapi peristiwa menabur abu jenazah adalah gagasan. Ketika saya menjenguk pakde saya di Banten yang sakit menahun, saya terpesona dengan arah cahaya yang menerobos jendela dan menyinari sebagian tubuhnya yang terbaring kisut. Lantas saya perhatikan setiap gerakannya dan terkejut ketika ingin melanjutkan rokoknya yang padam separuh jalan. Lalu jadilah "Menemani Ayah Merokok". Guyuran gerimis yang menemani jalan-jalan malam saya di Tokyo, ketika merencanakan perjalanan ke Disney Sea keesokan harinya, semua koridor pertokoan yang selalu penuh orang, dan sebuah sudut dengan cafe Starbucks; menjadi sebuah suasana yang melatari cerpen saya "Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis." Peristiwa tsunami tentu mengilhami banyak pengarang. Saya membidiknya dari perasaan seorang anak yang ditinggal pergi ayah-putus-asanya, setelah kehilangan ibu dan adiknya, saya segera teringat lagu Leo Kristi yang berjudul "Laut Lepas Kita Pergi", yang begitu mistis dan kaya cerita. Maka kutulis cerpen dengan judul yang sama.

Jika cerpen Anda ditolak?  Bisa cerita sedikit?
Jangan dikira naskah saya tak pernah ditolak. Dalam kasus ini, kita harus arif menerimanya, karena tidak semua cerpen cocok untuk media massa tertentu. Saya selalu menerima kenyatan itu, meskipun awalnya cerpen itu merupakan pesanan. Nyatanya, di satu media ditolak, ternyata di media lain sesuai. Atau, di satu media kalah sayembara, di
media lain justru menjadi terbaik. Bukankah selera redaksi juga berbeda-beda. Dulu merasa kecewa, sekarang tertawa saja.

Kalau cerpen Anda dimuat?
Jika cerpen saya dimuat, saya merasa gembira sewajarnya. Jika kemudian dibahas kawan-kawan, gembira lagi. Ujung-ujungnya memacu untuk menulis (yang lebih baik) lagi. Jadi, produktivitas saya kadang-kadang dipancing oleh cerpen yang dimuat.

Konon nama Anda jadi rebutan banyak media? Apalagi dua kumpulan cerpen selalu muncul setahun dua?
Itu pasti kabar burung. Tidak setiap cerpen saya bisa diterima. Tetapi, saya memang menulis dengan tema dan cara yang cukup luas. Sampai saat ini, saya selain menulis di koran (Kompas, Kortem, Media, Republika, Suara Karya, Lampung Post, Suara Merdeka, dll), juga menulis di majalah (Femina, Kartini, dan Matra). Saya juga masih menulis cerpen remaja di majalah  Gadis  dan kumpulan cerpen Cinta. Sesekali menulis untuk Jurnal (Jurnal Prosa, Jurnal Cerpen, Jurnal Cak, Jurnal Kolong) atau majalah Horison. Ternyata, saya juga menulis cerita anak-anak di Bee Magazine. Prinsipnya saya menulis tidak dengan cara membeda-bedakan media.

Selera Redaktur Seni dan Budaya tiap koran itu gimana sih?
Untuk pertanyaan ini jawabnya sangat subjektif sebagai penafsiran saya pribadi. Saya berpendapat, Kompas  memuat cerpen-cerpen yang memiliki dampak pemahaman seluas mungkin pembacanya, karena tirasnya mungkin di atas 600 ribu eksemplar. Adapun  Koran Tempo lebih konsentrasi terhadap gaya dan eksplorasi bahasa, sesuatu yang hidup dan menawarkan gagasan. Nah, tinggal pilih, mana yang lebih membanggakan?

Apakah ada proses tambal sulam untuk naskah Anda  yang ditolak?
Tentu ada proses itu. Ketika ditolak oleh A, saya mencoba mencari sebabnya. Lalu saya perbaiki dan saya kirim ke B. Begitu sebaliknya. Tetapi saya tidak selalu mengirimkan cerpen yang ditolak kepada koran yang dianggap tidak populer. Justru pernah terjadi sebaliknya. Itu biasa saja. Kembali kepada jawaban saya, bahwa tidak semua naskah cocok untuk sebuah media. Pintar-pintar kita memprediksi. Sebagai pengarang tentu kita tahu, mana untuk majalah dan mana untuk koran, atau jurnal.

Anda masih menulis cerpen remaja, ya?
Entahlah. Rasanya saya begitu mudah. Mungkin resepnya, menulis jangan semata teknis namun juga keterlibatan perasaan. Beda 'rasa' menulis cerpen, puisi, dan novel? Menulis cerpen karena lebih singkat dari novel, gagasan yang bisa selesai sekali duduk, biasanya saya tidak memerlukan persiapan khusus. Bisa di sela-sela pekerjaan. Bisa dibuat rutin, misalnya sejak jam 22 sampai 24.30. Menulis seperti sedang mengendarai sebuah sepeda keliling taman: ringan dan mengalir. Jadilah tokoh itu, rasakan, dan ikuti ke mana pun nasibnya melangkah. Menulis puisi bisa sambil menunggu antrean dokter, dalam penerbangan, atau saat menunggu menu diantar di sebuah warung makan. Tak harus dengan sangaja. Menulis novel, wow! Saya iri dengan para remaja yang piawai menulis teenlit begitu tebal. Seperti tanpa beban. Adapun saya, novel masih menjadi cita-cita. Tapi sebentar lagi akan terbit novel remaja saya berjudul Selembut Lumut Gunung, saya sedang mempelajari kontraknya. Target saya tentu novel yang akan menggema panjang, semacam Olenka  (Budi Darma) atau Seratus Tahun  Kesunyian (Gabriel Garcia Marquez).

Hubungannya dengan 'ketangkasan' menulis puisi dengan prosa?
Barangkali talenta. Tapi tak mungkin terealisasi tanpa dicoba dengan mencobanya. Seperti umumnya pelajar yang berbakat, selalu dimulai dengan karir di majalah dinding. Sejak awal memang saya menulis dua jenis itu: puisi dan prosa.

Saran untuk penulis cerpen pemula?
Menulis jangan dibebani hal-hal yang belum terjadi. Misalnya, khawatir hasilnya jelek, cemas jika ditolak. Mulai saja. Karena Margaret yang baru 14 tahun sanggup menulis novel  Amore. Jadikan itu sebagai sumber kecemburuan positif.

Anda punya kesan menulis yang realis, ya?
Saya tak yakin, apakah ada garis perbedaan yang jelas pada cerpen-cerpen saya perihal realisme dan surealisme? Coba baca "Seseorang Mirip Nuh", "Tumbal", "Air Mengalir dari Ujung Jemarinya", "Air Api Angin Tanah", "Kincir Api", "Tulang Rusuk" -- apakah itu realisme, atau surealisme? Ah, sudahlah, mari kita menulis tanpa tendensi.

Anak Anda ada yang mengikuti jejak menulis?
Anak saya pertama, Najma Amtanifa, lagi getol menulis cerpen dan novel. Menurut Redaktur majalah Gadis, dia berbakat. Tapi saya menganjurkan untuk tidak memuatnya. Biarkan 'sempurna' dulu. Anak yang kedua laki-laki,  Aif Saii Hirzan, tampaknya juga niru-niru ingin bisa menulis. Biarlah mereka berkembang dengan sendirinya. Saya menyarankan agar menulis cerita jangan meniru cerita orang lain. Biasanya saya kejar dengan pertanyaan untuk menguji kelogisan cerita. Saya membelikan buku-buku cerita yang baik untuk referensi atau pengayaan literatur. Berdiskusi jika mereka bertanya ini-itu, terus memanas-manasi agar bersemangat terus menulis, tentu di usai PR-nya.
Sumber: www.penulis lepas.com